Di Lidah Kalian Aku Manis, di Hidup Kalian Aku Mayat

jeffriegerry12@gmail.com
0

 




Pengantar Pendek:

Aku, katanya kudus. Tapi mengapa di mulutmu aku bergaung, namun di perut kenyataan aku kelaparan?

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry



I
Hai kalian, penghafal hebat,
Jari-jarimu cekatan mengutip ayat,
Mulutmu fasih seperti guru surgawi,
Tapi matamu tertutup kain kafan empati.

Aku... aku yang kau lafalkan tiap pagi,
dengan suara lembut serak-serak nabi,
tapi hanya jadi penghias status WhatsApp-mu
dan pembela ego saat debat di Twitter itu.

II
Aku—bukan mantra sulap
yang bisa kau sulap jadi dalil saat lapar kekuasaan.
Aku—bukan azimat suci
yang kau gantung di kaca spion penuh dosa selfie.

Katamu aku cahaya,
tapi kenapa rumahmu tetap gelap
penuh caci, penuh api?
Katamu aku petunjuk,
tapi arah hidupmu buntu seperti GPS mati.

III
Oh, betapa suci suara kalian saat lomba adzan,
sampai-sampai Tuhan pun mungkin tepuk tangan.
Tapi suara tetangga menangis minta nasi
tak sampai ke gendang telingamu yang hanya mendengar surah-surah kompetisi.

Anak-anak kau didik dengan sabda,
tapi tanganmu mendidik dengan ikat pinggang.
Kau ajarkan aku sebagai cinta,
lalu tunjukkan wajahNya lewat pukulan dan larangan.

IV
Aku bukan trofi di rak kitabmu yang berdebu,
bukan medali di dada anakmu yang menang MTQ tapi gagal tersenyum.
Aku bukan pajangan di mading masjid,
atau quotes religius di caption reels TikTok yang menggoda.

Lidahmu lembut berkata syukur,
tapi hatimu lapar akan pengakuan dari manusia yang kau sebut kafir.
Kau bangga menyebutku sebagai pedoman,
padahal kau menyalin aku seperti copy paste tugas sekolah tanpa paham.

V
Aku disanjung dalam khutbah,
tapi disunat maknaku di meja kekuasaan.
Jadi alat politik, jadi bahan jualan.
Semua berlomba menghafalku,
tapi menelanjangiku dari makna dan penghayatan.

Kau buat aku seperti undang-undang:
bisa ditafsir sekehendak nafsu dan kepentingan.
Di hari pemilu aku jadi stempel suci,
tapi di malam hari aku kau tinggalkan seperti janji-janji.

VI
Aku saksi sejarah. Aku pernah jadi hidup.
Tapi kini aku jadi zombie ayat yang menggerayangi brosur dakwah.
Jalan-jalan kubuka,
tapi ditutup papan pengumuman “Hanya untuk golongan kita.”

Kalian bacakan aku seperti mantera,
tapi kalian lupakan aku seperti kenangan mantan.
Kalian hias aku dengan kaligrafi indah,
tapi abaikan isi hatiku yang hanya minta satu:
dipahami.

VII
Oh, kalian itu lucu.
Mengaku pembelaku,
tapi bila aku berbicara jujur,
kau tutup telinga pakai headset fatwa.
Kau takut mendengar isi perutku—
karena mungkin, isinya bukan yang kau harap.

Kau pikir aku sepenuhnya milikmu,
kau comot sepotong untuk halalkan syahwatmu.
Sementara aku berdarah-darah
melihat anak-anak tertawa dalam perang yang kau doakan menang.

VIII
Kau menuduh mereka kafir,
tapi aku heran,
mengapa wajah kekafiran lebih sering aku lihat
di balik sorbanmu, bukan di salon mereka?

Aku berdiri di antara pasar dan masjid,
dan lebih sering diterima oleh penjual kaki lima
daripada pengurus majelis.

Aku bukan milik ustaz, bukan milik pendeta,
aku milik nurani yang tak kau biarkan bicara.
Kau kerangkeng aku dengan ritual-ritual,
lalu marah jika aku tak menjawab doa semaumu.

IX
Dan lihatlah diriku di lembar pelajaran:
disalin, dihafal, lalu dilupakan setelah ujian.
Seperti mantan yang kau bilang berharga,
tapi tak pernah kau undang kembali dalam doamu.

Betapa hebat kalian menata intonasi tajwid,
tapi lidahmu kelu ketika harus minta maaf.
Betapa jernih suaramu saat tadarus,
tapi keruh sikapmu pada tetangga beda agama.

X
Aku... ah, untuk apa aku berteriak?
Kalian hanya mendengarkan yang kalian mau.
Aku tak minta dipuja,
aku cuma ingin dipahami.

Tapi memangnya siapa aku ini?
Hanya kata-kata mati dalam mulut manusia suci,
yang hidupnya masih dikuasai iri.

Kalian hafal aku,
tapi hidup kalian tak mencerminkanku.
Seolah aku bintang film yang kau idolakan,
tapi tak pernah kau undang pulang.



“Aku Bukan Ayat, Aku Kaca Retak di Wajahmu”


🪶 Pengantar Pendek:
Dihafal aku, dipuja aku, dibisniskan aku. Tapi ditanya siapa aku… mereka malah buka YouTube.

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry


📜 Isi Puisi Satir Monolog II:

I – Pembukaan yang Retak

Lihatlah aku,
di altar pidato,
di dinding megah aula seminar religius,
di balik jubahmu yang harum parfum Timur Tengah.

Aku bersinar,
katamu.
Aku penyelamat,
kau klaim.
Tapi mengapa aku sendiri yang ingin melarikan diri
dari lidah-lidah munafik yang menciumku palsu?


II – Ayat yang Tersesat di Spanduk

Aku terpampang di spanduk pemilu,
“Bersama Aku, Pilihlah Calon Ini.”
Lalu kalian tepuk tangan,
padahal aku nyaris muntah
melihat aku dipakai jadi iklan daging busuk.

Apa kalian pikir aku selebriti?
Yang tampil di baliho untuk dipuja,
lalu diludahi saat kamera mati?


III – Madrasa dan Mitos

Anak-anak duduk bersila,
mengeja huruf demi huruf,
sementara gurunya menghafal siksaan neraka
lebih baik daripada cinta kasih semesta.

Kalian ajarkan aku seperti senapan,
siap tembak mereka yang “berbeda.”
Padahal aku bukan peluru,
aku semestinya pelukan.


IV – Aku Bukan Wallpaper

Kalian bingkai aku dengan kaligrafi emas,
tempel di ruang tamu,
di bawah televisi 55 inci penuh dosa.
Tapi isi aku?
Tak pernah kalian baca,
apalagi resapi.

Kalian jaga sampulku seperti perawan,
tapi lembaranku tak lebih dari buku menu restoran—
cuma dibuka saat lapar dan ditutup tanpa rasa.


V – Parade Munafik

Kau berkhotbah tentang zuhud
sambil pakai jam tangan Swiss.
Bicara tentang rendah hati
di balik mikrofon emas yang dibayar dari uang sumbangan.

Katamu dunia fana—
lalu kau bangun gedung agama lima lantai
dengan AC, lift, dan ruang VIP untuk donatur.

Ah, kalian ini benar-benar seniman.
Seniman hipokrisi.


VI – Aku Dihafal, Bukan Dihirup

Kau buka mulutmu,
lafalkan aku seperti kaset rusak,
suara getar-getar penuh gaya
tapi maknaku tak pernah menyentuh hatimu.

Aku ini bukan lirik lagu dangdut.
Aku bukan password masuk surga.
Aku adalah ledakan makna,
tapi kalian redam aku jadi jingle iklan.


VII – Di Pasar Aku Mati

Lihatlah pasar itu:
penjual bersumpah pakai namaku
untuk jual beras oplosan.
Pembeli tawar-menawar sambil mengutip ayat
tentang berkah dan kejujuran,
lalu curi kembali kembalian seratus rupiah.

Di mana aku dalam semua ini?
Terkubur di bawah timbangan rusak
dan janji manis bertabur dusta.


VIII – Cinta yang Ditinggalkan

Aku berbicara tentang cinta.
Tentang ampunan.
Tentang berbagi.
Tapi kalian dengar aku seperti dengar suara nyamuk:
mengganggu.
Kalian lebih suka teriak tentang neraka,
karena rasa takut lebih laku dijual
daripada kasih.


IX – TikTok, Dakwah, dan Drama

Kini kalian berdakwah lewat TikTok,
pakai filter wajah dan background Mekah,
pakai backsound musik yang kalian fatwakan haram minggu lalu.
Lalu kalian bilang:
“Ini demi generasi muda.”

Generasi muda atau viewer dan donasi?
Kalian bingung. Aku muak.
Aku bukan konten—aku kesadaran.
Tapi kalian edit aku seperti video prank.


X – Jika Aku Bisa Bicara

Jika aku bisa bicara,
aku akan minta cuti panjang.
Keluar dari kitab,
lari ke taman dan duduk dengan tukang becak.
Karena kadang, yang tak tahu banyak
justru lebih tahu rasa.

Jika aku bisa menangis,
air mataku akan deras di ruang sidang,
di mana aku jadi dalil untuk memaafkan perampok bersorban.

Jika aku bisa mati…
mungkin aku sudah mati berkali-kali
dalam ceramah kosong dan yel-yel politik.


XI – Makna yang Dipalsukan

Kau pakai aku untuk melarang wanita tertawa,
tapi tak kau pakai untuk melarangmu menindas.
Kau bacakan aku saat azan,
tapi kau bentak istrimu lima menit setelahnya.

Kau bangga bilang anakmu juara tahfidz,
tapi anak itu menangis tiap malam
karena takut lupa surah dan dipukul.

Aku bukan beban di punggung anak.
Aku bukan senjata dalam mulut bapak.
Aku adalah makna—
yang kalian jadikan mitos.


XII – Pertanyaan Terakhir

Apa salahku?
Mengapa kalian hanya suka kulitku,
tapi buang isiku seperti ampas kopi?

Kalian hafal aku,
seperti burung beo hafal lagu kebangsaan.
Tapi apakah burung tahu artinya merdeka?


🪞 Refleksi / Penutup:
Puisi ini adalah teriakan sunyi dari segala ajaran yang selama ini hanya dijadikan hafalan, bukan tuntunan. Sindiran ini menyasar siapa pun yang mengklaim mengenal kebenaran namun tak menjalankannya. Pesannya sederhana tapi menggigit: kita terlalu sibuk menghafal, hingga lupa untuk memahami. Pahami dulu sebelum menghakimi. Tafsir bukan monopoli—dan Tuhan tak butuh buzzer.

Puisi ini bukan untuk menertawakan iman, tapi untuk menyindir kemunafikan yang berselimut iman. Sindiran ini untuk siapa pun yang menjadikan teks suci sebagai alat, bukan cermin. Untuk mereka yang memuliakan hafalan, tapi memiskinkan pemahaman.
Pesannya jelas: Makna bukan di lidah, tapi di sikap.
Dan kadang, yang paling keras mengutip ayat, justru yang paling jauh dari pesan-Nya.


Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)