Debat Tanpa Otak

jeffriegerry12@gmail.com
0

 

Debat Tanpa Otak

🧠 Otakmu Tertinggal di Ruang Tunggu Demokrasi

(Debat Tanpa Otak di Zaman Otak-otakan)
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🔥 Pengantar Pendek

"Di medan debat, bukan kebenaran yang dicari — tapi siapa yang lebih pandai mengangkat alis sambil berdusta."


🎭 Puisi Satir Monolog: “Otakmu Tertinggal di Ruang Tunggu Demokrasi”

Selamat datang, wahai pemburu mikrofon,
yang menggonggong di podium seolah itu altar kebenaran.
Kau masuk, bukan dengan logika,
tapi dengan jas setrika dan wajah penuh rencana busuk.

Silakan duduk di singgasana debat,
kursi plastik warisan nenek moyang yang haus validasi.
Jangan khawatir soal isi kepala,
di ruangan ini, otak hanyalah aksesori yang tak pernah dipakai.


Debatmu bukan adu gagasan, tapi lomba teriak paling sopan.
"Saudara saya keliru!" katanya sambil menatap kamera,
lalu mencubit fakta hingga berdarah
agar tampak mewarnai narasi dengan empati plastik.

Lidahmu lincah, seperti cacing bergaya Shakespeare,
berkelok-kelok demi rating dan sorotan.
Tapi isi ucapmu?
Kosong.
Hampa.
Bak kotak amal yang digembok setelah diisi janji-janji palsu.


Ah, betapa agung peranmu!
Sang gladiator yang bertarung bukan pakai pedang,
melainkan emoji dan kutipan hasil kopi-tempel dari status WhatsApp mertua.


"Data menunjukkan..."
ujarmu dengan yakin,
padahal itu grafik hasil coretan anak tetangga
yang diberi snack dan kopi saset.


Coba kutanya, siapa lawan debatmu sebenarnya?
Rakyat?
Kebenaran?
Atau rasa takutmu sendiri
bahwa suatu hari orang-orang sadar
kau hanya piala kosong dipoles semangat purba.


Paradoks paling lucu:
kau bicara soal moral sambil meraba-raba amplop.

Sambil menuding,
kau sembunyikan dosa di balik senyum 32 gigi.


Kau panggil debat ini "adu gagasan", padahal ini ajang sulap.
Tangan kananmu mengangkat isu besar,
sementara tangan kiri menyuap bisu-bisu elite.


Sungguh dramatis!
Seperti sinetron tanpa naskah,
di mana tiap kalimat adalah jebakan,
dan tiap jeda adalah tempat untuk...
mengingat-ngingat skrip dari tim sukses.


Kau debat soal subsidi,
tapi mobilmu melaju dengan bensin rakyat.
Kau debat soal pendidikan,
tapi anakmu sekolah di luar negeri
dan kau ejek guru lokal seperti pembersih papan tulis digital.


Kau suka debat? Mari, kusarankan tema:
Kenapa manusia lebih pintar pura-pura bodoh,
daripada mengaku tidak tahu dan belajar?


Debatmu seperti parade topeng:
Semua tersenyum,
padahal isi kepala saling cakar.

Yang kau ingin bukan solusi,
tapi standing ovation dari kawan satu kubu.


Dan kami, rakyat, penonton pasif nan setia,
dibayar dengan tawa pahit dan nasi bungkus.


Hei, wakil rakyat,
rakyat mana yang kau wakili?
Yang kau sebut "akar rumput", tapi tak kau temui sejak kampanye?
Yang kau janjikan wi-fi gratis,
tapi kau blokir komentar mereka di media sosial?


Debatmu adalah karnaval,
tempat kata “integritas” dijual 50%
saat promo politik murah meriah.


Kau tak peduli siapa benar, siapa jujur,
yang penting:
siapa paling viral, siapa paling "santuy", siapa paling mampu membuat oposisi terlihat seperti anak TK.


Inilah ironi agung demokrasi,
di mana debat tak lagi tempat pikir bertemu,
tapi tempat ego dibungkus rapi dengan pita argumen tak bertulang.


Dan oh, tepuk tangan berdentang,
bukan karena kau benar,
tapi karena produser debat telah menekan tombol: "insert applause."


Monologmu panjang, tapi tak menyentuh.
Kata-katamu banyak, tapi tak sampai.
Kalimatmu rumit, tapi isinya hanya: “saya lebih baik dari dia.”


Malam ini, saat kau pulang,
cobalah bercermin.
Tanyakan pada wajahmu sendiri:
"Apakah aku pernah berpikir, atau hanya mengulang suara orang lain dalam volume lebih keras?"


O, Debat Tanpa Otak,
engkau bukan tanding ide,
tapi tanding ego yang dibungkus drama murahan dan jargon prematur.

Kau lahir dari industri lidah,
dan kau makan waktu,
tapi tak pernah kenyang.


Aku muak, tapi masih menonton.
Aku tahu palsu, tapi masih tertawa.
Aku sadar semuanya teater,
tapi tetap memberi standing ovation.

Karena di negeri ini,
yang jujur dianggap lemah,
dan yang pintar berbohong,
dapat jabat tangan paling hangat.


🪞 Refleksi: Siapa yang Sebenarnya Bodoh?

Puisi ini menyindir praktik debat yang kehilangan makna, ketika logika ditukar dengan retorika murahan, dan panggung politik menjadi arena pertunjukan topeng. Sindiran ini menyasar siapa pun — dari politikus, jurnalis, hingga kita sebagai penonton pasif. Pesannya sederhana tapi pahit: Jika debat kehilangan otak, maka yang dipertaruhkan bukan lagi kemenangan, melainkan kemanusiaan itu sendiri. Dan ironisnya, kita semua menonton… sambil tersenyum.


🧠🔥 "Festival Teriak Tanpa Tujuan: Parade Para Pemikir Kosong"


Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🌀 Pengantar Pendek

Mereka tidak mencari jawaban. Mereka hanya ingin menang. Bahkan jika pertanyaannya hilang di tengah tepuk tangan.


🎭 Puisi Satir Monolog: “Festival Teriak Tanpa Tujuan: Parade Para Pemikir Kosong”

Selamat datang di festival tahunan,
tempat otak digadaikan demi trending topic semalam.
Panggungnya megah,
mic-nya steril,
tapi argumen?
Sampah yang dibungkus pita emoji.

Silakan duduk,
pejuang nalar gadungan,
sang pemilik akun centang biru
yang mengira kalimat panjang berarti otoritas.


“Kita harus tegas!”
teriakmu di podium
sambil membaca contekan dari staf magangmu.
Mereka bilang ini debat,
tapi rasanya seperti open mic stand-up yang tidak lucu
dan tidak tahu diri.


Ah, lihatlah lawanmu,
mereka bukan musuh, tapi cermin retak
yang kau lempari batu dari masa lalu.
Kau ingat, kan?
Dulu kau berdiri di sana juga
dan mengatakan hal yang berlawanan dari yang kau bilang sekarang.


Debatmu seperti drama kolosal:
Ada suara keras,
ada gestur tangan ala Napoleon,
ada kutukan dan jargon,
tapi tak ada logika.


Ironi? Tentu.
Kau bicara soal transparansi,
tapi bajumu menyembunyikan 17 kontrak fiktif.
Kau bahas etika,
dengan mulut yang baru saja mencium amplop dari arah yang "tidak bisa disebutkan."


Di sini, yang menang adalah yang bisa bersilat kata,
bukan bersilat fakta.


Kau bilang:
"Saya tidak menyerang pribadi."
lalu menyerang silsilah keluarga lawanmu,
kucingnya,
bahkan nama belakang dari guru SMP-nya.


Sungguh debat ini seperti pesta topeng,
tapi semua topengnya sama:
Topeng Sok Tahu
— dengan tali pengikat ego yang sangat kuat.


Kau ingin terlihat pintar?
Gampang.
Ambil istilah asing, taburi dengan statistik basi,
campur dengan sedikit retorika agama,
dan bumbu “kami pro-rakyat”
yang bahkan rakyat pun sudah tak percaya rasanya.


Sementara moderator?
Hanya wasit bayangan
yang berharap acara ini cepat selesai
karena istrinya sudah kirim pesan:
“Jangan lupa beli minyak goreng.”


Anehnya, meskipun semua tahu ini sirkus,
semua masih beli tiket.

Kami menonton sambil tertawa getir,
karena satu-satunya yang asli di sini
adalah... keresahan kami.


Kau bicara soal data,
tapi tidak tahan dikoreksi.

Kau bicara soal rakyat,
tapi alergi terhadap suara mereka.
Kau bilang debat ini suci,
tapi kau injak-injak seperti koran bekas.


Kau debat soal hukum,
padahal pernah lari dari panggilan jaksa.
Kau debat soal anggaran,
padahal slip gajimu bisa beli satu kabupaten.
Kau debat soal integritas,
padahal di belakang, kau sedang cari diskon di toko jual suara.


Tapi yang paling kocak:
Kami semua tahu,
kau dan lawan debatmu akan duduk semeja
setelah acara ini —
makan malam di restoran mahal
pakai uang rakyat yang tadi kau bela mati-matian.


Sungguh tragis.
Atau mungkin... lucu?
Tergantung dari sudut mana kau melihat.
Apakah ini ironi,
atau hanya kebodohan yang sedang syuting untuk dokumenter sejarah?


"Debat adalah fondasi demokrasi!"
teriakmu,
sementara kau berdiri di atas tiang penyangga yang penuh like palsu dan buzzer bayaran.


Coba ingat,
kapan terakhir kali kau benar-benar mendengar,
bukan hanya menunggu giliran bicara?


Kau lupa,
bahwa diam kadang lebih masuk akal
daripada ocehan panjang yang tak mengandung satu pun kejujuran.


Paradoksnya begini:
Makin keras kau bicara,
makin jelas terlihat bahwa kau tidak tahu apa-apa.


Tapi kami tahu permainan ini.
Kami sudah terbiasa menonton sirkus
dengan badut-badut yang berganti kostum setiap musim pemilu.
Kami tahu,
debatanmu bukan demi kami,
tapi demi kamera yang merekam polling elektabilitasmu.


Dan ya,
kau akan menang...
bukan karena kau benar,
tapi karena lawanmu lebih buruk —
dan itulah standar baru negeri ini.


Kau bukan pemimpin,
kau selebgram politik,
yang menjual narasi dalam kemasan 60 detik untuk Reels.


Mungkin kami juga bersalah,
karena terlalu malas berpikir,
dan lebih suka memilih
yang paling “seru” — bukan paling jujur.


Tapi ingat, wahai penjelajah panggung debat,
nanti saat kau sendirian,
dan kamera mati,
dan tepuk tangan tak ada...
coba dengarkan bisikan kecil di dalam kepalamu
(jika masih ada):
“Apa gunanya menang debat,
jika kau kalah dalam kemanusiaan?”


Debat Tanpa Otak adalah puisi tragikomedi,
di mana semua aktor ingin menjadi pahlawan
tapi tak satu pun mau jadi manusia.


Kami tidak butuh lagi tepuk tangan palsu,
atau yel-yel fanatik yang memekakkan.
Kami hanya ingin seseorang yang benar-benar berpikir,
sebelum berbicara.


Sampai saat itu tiba,
biarkan sirkus ini berjalan.
Biarkan mikrofon membakar bibir-bibir sombong.
Biarkan argumen bodoh jadi musik latar kampanye.

Dan biarkan kami...
tertawa, lalu menangis.
Lalu tertawa lagi — karena menangis pun sudah tidak laku.


🪞 Refleksi Penutup: Siapa Yang Pantas Didebatkan?

Puisi ini tidak hanya menyindir mereka yang berada di panggung debat, tetapi juga kita semua yang menikmatinya tanpa kritis. Satir ini memukul realitas bahwa debat hari ini sering kali kehilangan substansi, digantikan ambisi, kepalsuan, dan performa. Target sindiran ini adalah siapa pun yang lebih tertarik pada tepuk tangan daripada kebenaran. Pesan moralnya sederhana: jika debat kehilangan otak, maka negeri kehilangan harapan.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)