Pengantar Pendek
"Adat dijunjung, tapi dijual; warisan dilestarikan, sambil dijadikan iklan minuman bersoda."
Ketika budaya leluhur jadi panggung kapital, apakah maknanya masih utuh?
Upacara Adat di Tengah Iklan Sponsorship
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(Berbisik dalam hati, di tengah keramaian upacara...)
Selamat datang, wahai hadirin sekalian,
duduklah rapi di bawah baliho raksasa dengan tulisan:
"Didukung oleh PT Modern Cuan Sejahtera"
—karena tanpa mereka, roh leluhur barangkali tak bisa hadir.
Dulu, nenek moyang menari untuk langit,
kini cucunya menari untuk kamera drone.
Burung-burung dilepas,
tapi tak lebih bebas dari anggaran yang dibatasi sponsor.
Gong dipukul:
bukan untuk memulai upacara,
tapi untuk menandai iklan susu herbal launching edisi tradisi.
Aku, sang pemimpin upacara,
berjubah kain tenun suci warisan nenek,
tapi di baliknya—kaus oblong bertuliskan:
"Visit Indonesia: Culture Brought to You by Capitalism."
Oh, tuan tanah dan pemilik saham,
engkau hadir di tengah ritual ini
duduk manis dengan kaca mata hitam
melihat tarian sakral sambil men-tweet:
"Keren juga ya, budaya lokal."
#SupportLocalCulture
(dan segera beli sahamnya)
Kami menumbuk padi dengan irama adat,
tapi kamera harus ambil angle kanan,
karena kiri katanya kurang fotogenik untuk feed TikTok.
"STOP!"
kata sutradara komersial,
"Penari itu jangan berkeringat. Ini akan tayang prime time."
Maka diberi bedak,
rohnya hilang,
gerakannya tetap,
tapi tanpa rasa.
Bendera adat berkibar di angin yang sopan,
sambil berdampingan dengan bendera merk air mineral
yang katanya "mengalir dari mata air budaya."
Parodi?
Mungkin.
Tapi kami menyebutnya: pelestarian berkelanjutan.
Sampai makna-makna pun ikut terdaftar dalam katalog promosi.
Aku menoleh ke nenek—yang di foto tua
masih menyimpan bara semangat di mata.
Kini, ia diundang jadi tamu kehormatan
duduk di tenda VIP
dengan kursi empuk
yang lebih empuk dari sawah yang kini jadi lahan parkir.
Ada upacara bakar dupa,
tapi baunya kalah dengan asap panggangan sosis merk global
yang ikut "mendukung kekayaan cita rasa lokal."
Sarkasme ini tak cukup menusuk,
karena mereka pikir ini pujian.
"Wah, budaya kalian hidup sekali!"
—katanya sambil membayar dengan dua kali harga souvenir yang dibuat dari plastik China.
Ironis?
Tentu.
Tapi tetap kami jalani,
karena kalau tidak, tak ada anggaran transportasi roh leluhur
yang kini harus bayar pajak masuk dunia modern.
Oh, roh nenek moyangku,
sudikah engkau menyaksikan cucumu ini,
yang menari bukan untuk menghormatimu,
tapi untuk memenuhi slot iklan di sela-sela siaran langsung.
Wahai tamu asing yang datang dengan kamera HD,
jangan salah tafsir:
tarian kami bukan untukmu—
meski kami disuruh menghadap ke arahmu agar lebih instagramable.
Kami menyebutnya "revitalisasi budaya,"
padahal lebih cocok disebut:
"Restorasi tradisi demi rating."
Bajingan berkedok kurator,
datang memoles ritual agar "lebih estetis."
Tarian hujan pun dipercepat,
karena waktu prime time terbatas.
Hujan turun…
bukan dari langit,
tapi dari efek suara post-produksi.
Anak-anak kecil berpakaian adat,
tak tahu arti topi mereka
tapi tahu persis cue-card dialog promosi.
"Terima kasih kepada sponsor,
yang telah menghadirkan budaya ini."
Oh, dunia…
Kapan kita berhenti mempersembahkan arwah leluhur
kepada dewa iklan dan dewi algoritma?
Mereka berikan kami dana,
kami berikan mereka makna,
lalu kami beli kembali makna itu
dalam kemasan diskon.
Kami rayakan panen,
dengan makanan impor.
Kami nyanyikan lagu adat,
dengan musik latar EDM.
Kami hormat pada leluhur,
setelah selfie.
Sungguh, suatu paradoks berlapis ironi:
menjunjung tradisi
dengan kaki yang berdiri di karpet sponsorship.
Wahai penonton,
bertepuk tanganlah…
tapi jangan terlalu keras—
kamera sedang rolling.
Pesan Positif Puisi Ini
Puisi ini adalah cermin retak yang memantulkan wajah kita:
tentang bagaimana budaya dan nilai luhur dijadikan komoditas.
Namun, dari kegetiran ini, muncul harapan:
kesadaran bahwa warisan budaya bukan sekadar konten—ia adalah jiwa.
Mari kita jaga upacara, bukan hanya acaranya.
Lestarikan makna, bukan hanya gerakannya.
Jangan biarkan leluhur menjadi brand ambassador tanpa izin.
Puisi ini dipersembahkan untuk:
Para generasi muda, pelestari budaya sejati,
yang tidak takut berkata "cukup"
saat nilai-nilai adat mulai dicuri kemasan sponsor.
Sepatah Kata dari Pujangga Digital, Jeffrie Gerry (Japra):
"Ketika adat hanya jadi dekorasi, maka ia kehilangan nyawanya.
Puisi ini saya tulis bukan untuk melawan iklan,
tapi untuk mengingatkan: budaya tak pernah butuh sponsor untuk menjadi sakral."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."