✍️ Pengantar Pendek
"Aku berdiri di mimbar, bersumpah atas nama rakyat. Tapi jangan salah, aku bukan temanmu. Aku hanya wakilmu, yang duduk nyaman di kursi empuk, sementara kau berdiri dalam antrean panjang."
🎭 Isi Puisi Satir
Aku Wakilmu, Tapi Bukan Temanmu
Aku berdiri di atas panggung, bersumpah atas nama rakyat
Dengan tangan kanan di dada, dan tangan kiri di belakang
Menggenggam janji-janji manis yang telah basi
Aku wakilmu, tapi bukan temanmu
Kau pikir aku peduli pada jeritanmu?
Pada tangisan anakmu yang kelaparan?
Maaf, aku terlalu sibuk menghitung suara
Menghitung berapa banyak amplop yang harus aku bagi
Aku berjalan di lorong-lorong kekuasaan
Dengan sepatu mahal yang tak pernah menyentuh lumpur
Sementara kau berjalan di atas tanah retak
Dengan kaki telanjang yang penuh luka
Aku duduk di kursi empuk ber-AC
Mendengarkan musik klasik sambil menyeruput kopi
Sementara kau duduk di bangku kayu reyot
Mendengarkan suara perutmu yang keroncongan
Aku berbicara tentang pembangunan
Tentang jalan tol dan gedung pencakar langit
Sementara kau berbicara tentang harga beras
Tentang anakmu yang putus sekolah
Aku menandatangani peraturan
Yang tak pernah aku baca
Sementara kau membaca surat tagihan
Yang tak pernah bisa kau bayar
Aku menghadiri rapat-rapat penting
Dengan jas dan dasi yang rapi
Sementara kau menghadiri pemakaman
Dengan baju lusuh dan air mata
Aku berbicara tentang demokrasi
Tentang suara rakyat yang harus didengar
Sementara aku menutup telinga
Ketika kau berteriak meminta keadilan
Aku berbicara tentang kejujuran
Sambil menyembunyikan rekening gendut
Sementara kau berbicara tentang harapan
Sambil menahan lapar
Aku tersenyum di depan kamera
Berbicara tentang kesejahteraan
Sementara kau menangis di depan cermin
Berbicara tentang kesengsaraan
Aku wakilmu, tapi bukan temanmu
Aku hanya datang saat kampanye
Membawa janji-janji yang manis
Lalu pergi tanpa pamit
Aku berbicara tentang perubahan
Sementara aku takut berubah
Aku berbicara tentang masa depan
Sementara aku terjebak di masa lalu
Aku berbicara tentang persatuan
Sementara aku memecah belah
Aku berbicara tentang cinta
Sementara aku menyebar kebencian
Aku berbicara tentang harapan
Sementara aku membawa keputusasaan
Aku berbicara tentang mimpi
Sementara aku membawa mimpi buruk
Aku wakilmu, tapi bukan temanmu
Aku hanya bayangan di balik layar
Yang muncul saat kau butuh
Lalu menghilang saat kau mencari
Aku adalah aktor di panggung politik
Memainkan peran yang telah ditulis
Dengan naskah yang penuh kebohongan
Dan penonton yang tak pernah bosan
Aku adalah boneka yang dikendalikan
Oleh tangan-tangan tak terlihat
Yang menarik benang-benang kekuasaan
Sementara kau hanya penonton setia
Aku adalah cermin dari dirimu
Yang memantulkan semua keburukan
Yang kau pilih dengan sukarela
Dan kau sesali dengan air mata
Aku wakilmu, tapi bukan temanmu
Aku hanya bayangan dari harapanmu
Yang berubah menjadi mimpi buruk
Dan kau tak bisa bangun
🪞 Refleksi / Penutup
Puisi ini adalah cermin bagi kita semua, menggambarkan bagaimana wakil rakyat sering kali melupakan rakyat yang mereka wakili. Sindiran ini menyasar para politisi yang hanya peduli pada kekuasaan dan melupakan tanggung jawab mereka. Pesan moralnya adalah agar kita lebih bijak dalam memilih pemimpin dan tidak mudah terbuai oleh janji-janji manis yang kosong.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
📌 Judul: "Janji Kampanye S&K, Tidak Dapat Diklaim"
✍️ Pengantar Pendek
"Janji kampanye: manis di telinga, pahit di realita. Syarat dan ketentuan berlaku, tapi hanya bagi mereka yang berkuasa."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🎭 Isi Puisi Satir
Janji Kampanye S&K, Tidak Dapat Diklaim
Aku berdiri di atas podium megah,
Menyuarakan janji dengan nada rendah.
"Rakyat sejahtera, harga murah meriah,"
Tapi semua itu hanya fatamorgana belaka.
Kau percaya pada kata-kataku,
Mengira aku penyelamatmu.
Padahal aku hanya aktor panggung,
Memainkan peran dalam sandiwara agung
Syarat dan ketentuan berlaku,
Tertulis kecil di bawah janji palsu.
Tapi siapa yang membaca itu?
Kau terlalu sibuk berharap padaku.
Aku tersenyum di depan kamera,
Berjanji akan membangun negara.
Tapi di balik layar, aku tertawa,
Melihatmu terjebak dalam drama.
Kau pikir aku peduli padamu?
Padahal aku hanya peduli pada suaraku.
Kau hanyalah angka dalam statistik,
Yang aku butuhkan untuk politik.
Aku berbicara tentang perubahan,
Tapi aku takut akan pergeseran.
Aku berbicara tentang harapan,
Tapi aku membawa keputusasaan.
Aku menjanjikan pendidikan gratis,
Tapi sekolahmu tetap menangis.
Aku menjanjikan kesehatan untuk semua,
Tapi rumah sakitmu penuh derita.
Aku menjanjikan lapangan kerja,
Tapi pengangguran tetap meraja.
Aku menjanjikan keadilan sosial,
Tapi hukum tetap berpihak pada modal.
Kau bertanya, "Mana janjimu?"
Aku jawab, "Syarat dan ketentuan berlaku."
Kau bertanya, "Apa maksudmu?"
Aku jawab, "Itu hanya slogan semu."
Aku wakilmu, tapi bukan temanmu,
Aku hadir saat kampanye, lalu menghilang.
Aku berbicara tentang masa depanmu,
Tapi aku hanya peduli pada kepentinganku.
Aku adalah cermin dari sistem,
Yang memanfaatkanmu tanpa rasa kasihan.
Aku adalah produk dari demokrasi,
Yang menjual janji tanpa realisasi.
Kau berharap padaku setiap lima tahun,
Tapi aku hanya datang saat pemilu.
Kau percaya padaku dengan penuh harapan,
Tapi aku hanya memberikan kekecewaan.
Janji kampanye: syarat dan ketentuan berlaku,
Tidak dapat diklaim, tidak dapat diuji.
Janji kampanye: manis di awal, pahit di akhir,
Sebuah kontrak yang tak pernah ditepati.
Kau bertanya, "Apa yang harus aku lakukan?"
Aku jawab, "Bangkit dan sadar akan penipuan."
Kau bertanya, "Bagaimana aku bisa percaya?"
Aku jawab, "Percayalah pada dirimu sendiri."
Janji kampanye: syarat dan ketentuan berlaku,
Tapi kau memiliki kekuatan untuk mengubahnya.
Janji kampanye: tidak dapat diklaim,
Tapi kau dapat menuntut pertanggungjawaban.
Aku adalah simbol dari kebohongan,
Tapi kau adalah harapan untuk perubahan.
Aku adalah masa lalu yang kelam,
Tapi kau adalah masa depan yang terang.
Janji kampanye: syarat dan ketentuan berlaku,
Tapi bersama, kita bisa menulis ulang aturan.
Janji kampanye: tidak dapat diklaim,
Tapi bersama, kita bisa membuatnya nyata.
🪞 Refleksi / Penutup
Puisi ini menggambarkan realitas janji-janji kampanye politik yang sering kali tidak terealisasi, dengan menggunakan gaya bahasa yang tajam dan penuh ironi. Sindiran ini ditujukan kepada para politisi yang menjadikan janji sebagai alat untuk meraih kekuasaan tanpa niat untuk menepatinya. Pesan moralnya adalah agar masyarakat lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh janji manis, serta pentingnya akuntabilitas dalam sistem demokrasi.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."