Monolog Uang Receh yang Mau Jadi Menteri

jeffriegerry12@gmail.com
0

 

“Monolog Uang Receh yang Mau Jadi Menteri: Lembaran Kecil dengan Ambisi Besar”

📜 Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

🔖 Pengantar:
Kalau mimpi itu gratis, jangan salahkan recehan yang bermimpi duduk di kursi empuk sambil mencetak peraturan.


🪙 Monolog Uang Receh yang Mau Jadi Menteri

Aku ini uang receh,
Yang kau anggap hina—pengganjal dompet, penghuni pojok laci,
Terselip di sela sofa, jatuh dari saku celana,
Dibuang anak kecil, diremehkan emak pasar,
Padahal aku juga mata uang, cuma... ukuranku lebih merakyat.

Aku bulat, logam, keras kepala.
Kalau jatuh, bunyiku keras:
“TRENGGGG!”—itu suara aspirasi!
Tapi kau pura-pura tuli,
Katamu:
"Apa sih yang bisa dilakukan seratus perak?"

Lalu suatu pagi yang absurd,
Aku terbangun dengan ambisi:
Aku ingin jadi menteri.
Ya, menteri!
Kenapa tidak?
Aku pernah dibuang, diremehkan,
Sudah cukup jadi penonton di dasar saku,
Sekarang giliran aku di podium, bersuara lantang dalam rapat anggaran,
Sambil menyisipkan:
“Kalau boleh tahu, honor saya berapa ya?”


Aku mulai daftar seleksi kabinet.
Katanya syaratnya:

  1. Integritas (asal jangan ngotot).

  2. Kompetensi (asal bisa bercerita).

  3. Tidak punya masalah hukum (asal tidak ketahuan).

Tanda centang kuberikan semua.
Lagipula aku sudah biasa tak dianggap hukum.
Kalau aku dicuri?
Tidak dilaporkan.
Kalau aku diselipkan di kotak amal palsu?
Orang cuma bilang, “Ah, cuma receh.”
Kalau aku jatuh ke selokan?
Tak ada investigasi, tak ada evakuasi.

Bukankah aku ideal?
Korupsi? Tak punya kapasitas!
Nepotisme? Siapa keluargaku? Recehan lain?
Kolusi? Tak ada teman elit.
Cocok jadi menteri bersih—karena tak cukup besar untuk kotor.


Aku lalu mengikuti tes wawancara.
Di depanku, uang seratus ribuan berkacamata emas tertawa terbahak:
“Recehan? Jadi menteri? Kamu ini bahan candaan!”
Kukatakan dengan lantang:
“Justru karena aku kecil, aku tahu sakitnya dipijak-pijak.”

Seribu, dua ribu, bahkan lima ribuan menimpali:
“Kami pernah disuap, setidaknya kami tahu cara mainnya.”
Tapi aku menatap lurus:
“Aku belum ternoda.
Suci bukan karena kuat,
Tapi karena belum diberi kesempatan berbuat busuk.
Dan sekarang... beri aku kursi!”


Aku bayangkan hari pertama jadi menteri.
Pakai jas abu-abu hasil pinjaman toko pinggir jalan.
Duduk di ruang kerja ber-AC,
Tapi badanku menggigil oleh kekuasaan.
Kuseruput kopi sachet murahan,
Karena itu satu-satunya yang percaya padaku sejak dulu.

Aku pidato di depan staf:
“Rakyat itu bukan beban,
Mereka cuma belum dapat notulen kebijakan.”

Staf bingung. Mereka biasa dengar janji, bukan satire.
Aku tunjuk tabel pengeluaran negara,
Lalu kutempel stiker:
‘BISA DITEKAN, ASAL JANGAN NURANI!’


Setiap sidang kabinet jadi pertunjukan sarkas.
Menteri Pendidikan bicara kurikulum,
Tapi aku potong:
“Untuk siapa pelajaran ini?
Rakyat atau rangkaian tender?”

Menteri Energi bicara listrik masuk desa,
Aku tertawa sambil bertanya:
“Masuk listrik, keluar lahan rakyat, ya?”

Menteri Kesehatan melaporkan angka imunisasi,
Aku angkat tangan:
“Bagus. Tapi imunisasi moral kapan?”

Presiden mulai gelisah,
Karena aku tak bisa diatur.
Tak bisa dijanjikan jabatan lebih tinggi.
Receh tak butuh mobil dinas, cukup naik angkot.
Receh tak takut dipecat, karena dari awal pun tak dianggap.


Aku pidato di hadapan rakyat:
“Kalian bukan statistik. Kalian adalah kas kecil bangsa yang sering dicuri!”
Massa bersorak,
Tapi suara mereka tak masuk ke TV,
Karena kamera sedang fokus ke menteri yang tertawa palsu saat meresmikan proyek mangkrak.


Malamnya aku diajak rapat gelap.
“Receh, kamu terlalu vokal,” kata Menteri Bisnis Gelap.
“Kita ini tim. Kita jaga reputasi sama-sama.”
Aku jawab:
“Reputasi itu bukan barang lelang.”
Mereka geleng kepala.
“Kamu tidak cocok di sini.”

Dan keesokan harinya,
Namaku hilang dari kabinet.
Dibilang tidak lolos verifikasi ulang.
Katanya:
“Karakter terlalu jujur. Tidak relevan dalam iklim birokrasi modern.”
Alasan yang manis untuk pembunuhan karakter yang pelan-pelan.


Aku kembali ke saku rakyat.
Tempatku memang bukan di kursi empuk.
Tapi di tangan emak-emak yang ikhlas memberi,
Di kantong bocah yang beli permen di warung kecil,
Di kembalian tukang parkir yang lebih jujur dari pejabat.

Namun jangan lupa—aku pernah jadi menteri.
Meskipun cuma sehari,
Meskipun cuma dalam parodi,
Tapi aku buktikan:
Yang kecil bisa bicara lantang.
Yang diremehkan bisa menyindir dengan tajam.
Yang tidak diperhitungkan bisa menggoyang kursi empuk sampai gemetar.

Karena aku, uang receh,
Tidak takut jatuh—sudah biasa.
Tidak takut dibuang—sudah kebal.
Yang kutakutkan hanya satu:
Menjadi seperti mereka.


🪞 Refleksi Penutup:

Puisi ini menyindir realitas politik yang sering melupakan suara kecil dan mengagungkan suara berduit. Dengan tokoh “uang receh,” ditampilkan paradoks dan ironi dari sistem kekuasaan yang lebih menghargai penampilan dan transaksi daripada kejujuran dan integritas. Sindiran ini menyasar politisi, pejabat, dan struktur birokrasi yang membusuk, sekaligus mengangkat harga diri rakyat kecil yang kerap diremehkan. Pesannya jelas: kekuasaan sejati tidak lahir dari kursi, melainkan dari keberanian untuk jujur, bahkan ketika dunia tidak siap menerimanya.


🧨**"Uang Receh Naik Meja, Jadi Menteri: Revolusi Koin di Negeri Boneka"**

📜 Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🧤 Pengantar:

Di negeri ini, yang paling kecil tak boleh bermimpi besar,
tapi yang paling besar bebas mimpiin proyek absurd.


MONOLOG: UANG RECEH NAIK MEJA, JADI MENTERI

(versi yang lebih liar, jujur, dan mengguncang logika waras)

Aku, uang receh 500 perak,
lahir dari pabrik logam yang letaknya entah di mana.
Mungkin di pabrik kebohongan,
mungkin di dalam mesin politik yang dibalut narasi pembangunan.

Tapi hari ini,
AKU CAPEK JADI PENGGANJAL TIKUS!

Sudah cukup aku jadi saksi bisu dalam dompet wakil rakyat,
jadi alat kembalian tanpa rasa,
jadi barang yang dilempar ke tukang parkir
sambil berkata, “Nah, buat beli nyawa!”


KINI AKU MAU JADI MENTERI!
Bukan karena ambisi,
tapi karena frustrasi.

Aku muak!
Lihat sendiri tuh, yang jadi menteri:
lulusan luar negeri tapi isi kepala cuma tender proyek.
Pidatonya manis,
tapi mulutnya kayak dispenser:
airnya bening, isinya pesanan sponsor.

Jadi aku daftar.
Ya, aku—keping receh berkarat—masuk bursa calon menteri!


🪧 SYARATNYA? KATANYA:

  • Wajah boleh korengan asal bisa senyum di media.

  • Otak boleh bolong asal bisa ucap “siap, Pak Presiden.”

  • Moral boleh remuk asal rakyat nggak ngerti.

  • Asal bisa duduk manis sambil ngomong "kami mendengar"—
    padahal telinganya disumpal kurs mata uang asing!

Ah, syarat segitu?
BAGI RECEH SEPERTI AKU—MUDAH!
Aku sudah biasa:

  • Tergilas sepatu pejabat

  • Dicuri tanpa sidik jari

  • Ditendang dari saku ke got tanpa minta maaf

Aku KEBAL!


🧠 SIMULASI DEBAT KABINET:

Menteri Infrastruktur:
“Kita bangun jalan tol 300 KM, walau desa di sekitarnya belum punya air bersih!”

AKU:
“Wah keren, jadi rakyat bisa ngangkut ember lewat jalur cepat, ya?”


Menteri Pendidikan:
“Kami ubah kurikulum! Lebih adaptif!”

AKU:
“Adaptif ke mana? Ke kantong vendor buku dummy?”


Menteri Keuangan:
“APBN sehat, inflasi terkendali.”

AKU:
“Saking sehatnya, rakyat jadi langsing karena tiap hari puasa!”


🎭 PARODI SIDANG:

Presiden:
"Visi kita: transformasi digital!"

Aku:
"Tapi sinyal di kampung putus tiap Azan.
Rakyat lebih hafal buffering YouTube daripada daftar hak asasi manusia."


Staf Khusus:
"Kita undang investor!"

Aku:
"Dan kita jual apa lagi?
Udara? Matahari?
Atau napas rakyat saat membayar pajak?"


🎪 LEMBARAN ABSURD:

Di gedung kementerian, aku mulai reformasi.
Kuganti seragam staf dengan baju transparan—biar semua kelihatan.
Kuganti meja rapat dengan meja kayu warteg—
Biar mereka tahu rasanya makan tanpa keterangan anggaran.

Kubakar catatan “serah terima jabatan”
dan kutulis ulang:
“INI NEGARA, BUKAN STARTUP BERLAPIS SLOGAN!”


Aku undang rakyat masuk gedung kementerian.
Satu-satu.
Biar mereka lihat siapa sebenarnya yang kerja,
dan siapa yang cuma tanda tangan lalu kabur ke kafe sambil story:
#MelayaniBangsa


Tiap malam kupanggil para tikus berdasi,
Kukunci mereka di lemari pengadaan.
Kusulap mereka jadi pelajaran:
"Begini nasib kalian jika terus menjual rakyat dengan diskon musim politik."


🎤 MONOLOG PADA TUKANG PARKIR

“Bang, aku dulunya koin kecil.
Sekarang aku menteri.
Tapi kau tetap parkir di bawah pohon yang sama.
Tahu kenapa?
Karena revolusi cuma berlaku di layar HP,
di dunia nyata, yang berubah cuma latar belakang zoom rapat!”


🧯KRONOLOGI KEJATUHAN

Aku dijebak.
Katanya aku radikal—karena bilang "nggak bisa nego soal kejujuran."
Katanya aku berbahaya—karena nggak bisa disogok.
Katanya aku tidak kooperatif—karena nolak ikut arisan jabatan.

Akhirnya aku dipecat.
Dengan surat resmi, pakai stempel emas,
tertulis:
“Anda tidak sesuai standar kemunafikan nasional.”


Aku turun jabatan,
kembali jadi pengganjal meja toko kelontong,
tapi aku tahu:
sekali kau bicara kebenaran, kau tak bisa dibungkam,
meskipun bentukmu bulat, kecil, dan berkarat.


🔚 Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah ledakan frustrasi,
dari suara paling kecil dalam sistem paling besar yang semakin tuli.
Uang receh adalah simbol rakyat kecil:
selalu ada, sering diremehkan,
tapi bila bersatu dan bersuara—bisa bikin kursi goyang.

Sindiran ini ditujukan untuk para birokrat palsu,
pejabat penuh jargon,
dan pemimpin yang alergi kritik tapi cinta sorotan kamera.

Pesannya jelas:
Kalau kebenaran dianggap gangguan,
maka keheningan adalah konspirasi.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)