Orang Bodoh Ngaku Pintar, Orang Lain di bilang Bodoh

jeffriegerry12@gmail.com
0

 

1️⃣ Judul:

"Si Pandir Bertoga: Hikmat dari Universitas Ego Sendiri"

3️⃣ Pengantar Pendek:

"Di zaman di mana suara keras sering dianggap kebenaran, sang Pandir pun naik podium, memvonis semua yang tak segolongan."
Selamat datang di panggung ironi, tempat gelar dipakai sebagai pedang, dan kebijaksanaan dikubur oleh ego.


4️⃣ Isi Puisi Satir:


I. Debut Si Pandir

Aku datang!
Dengan dada segede tivi layar datar
Ilmu? Ah, tak perlu
Yang penting suara lantang, dan dagu mendongak ke langit moral

Aku sarjana dari kampus maya
Dosenku: kolom komentar
Gelar kehormatan: Netizen Maha Benar
Ijazahku: screenshot dan hoaks yang terverifikasi oleh egoku sendiri

Lalu kau datang,
Dengan buku di tangan,
Dan aku tertawa:
“Kau bodoh! Tak tahu viral itu segalanya!”


II. Orasi Para Pandir

Kami, para Pandir, berserikat
Kami punya partai, punya podcast
Kami mengutuk fakta
Sebab logika tak bisa dibeli di e-commerce

Kami pakai istilah asing, walau tak tahu makna
"Post-truth", katanya…
Asal muasalnya dari kamus mana?
Entahlah, yang penting keren bunyinya

Kami berdiri di atas puing-puing akal
Bikin seminar motivasi
Judulnya: “Menjadi Cerdas dengan Menghina Orang Cerdas”


III. Dialog dengan Cermin

“Siapa yang paling bijak di negeri ini?”
Tanyaku pada kaca
Cermin retak tertawa getir:
“Yang paling keras, bukan paling cerdas.”

Kupakai toga dari kardus
Kupajang gelar: "Dr. Kebetulan"
Kumaki filsuf tua—
Sebab Socrates tak punya followers

Aku bacakan statusku sendiri
Penuh kutipan yang tak pernah kubaca utuh
“Wahai manusia, kalian bodoh, kecuali aku!”
Lalu dunia membalas: "Lucu juga, kau."


IV. Proklamasi Si Pandir

Dengarlah rakyat kebanyakan!
Aku titisan kebenaran versi komentar
Aku menjabat Menteri Bodoh yang Suka Menyebut Bodoh
Mandatku sah: disukai 2.000 akun palsu dan satu grup keluarga

Aku sahkan Undang-Undang Kebal Kritik
Pasal 1: Siapa mengoreksi, berarti iri
Pasal 2: Siapa diam, berarti setuju
Pasal 3: Siapa tertawa, langsung diblokir


V. Festival Ironi

Di tengah pesta, aku bersyair
Dengan pantun-pantun yang ngaco tapi viral
“Kalau pintar jangan tunjukkan, nanti dikatai sok!”
“Kalau bodoh, teriak saja keras-keras, nanti dianggap tegas!”

Aku bagikan teori sendiri:
Bumi itu datar seperti pengetahuanku
Semua argumen kuakhiri dengan:
“Kan itu cuma pendapat, bro.”


VI. Cinta dan Bodoh

Aku punya kekasih: retorika dangkal
Kami bercinta dalam ruang gema
Anak-anak kami lahir di kolom komentar
Bernama: Mispersepsi, Overclaim, dan Asumsi

Kami bahagia,
Setiap kali kalian frustrasi
Karena logika tak berlaku di republik kami
Di mana kebodohan bukan kutukan—tapi konten


VII. Monolog Si Pandir di Puncak Karir

Akhirnya aku jadi panelis
Di acara debat tanpa debat
Aku serang semua narasumber
Sambil tersenyum penuh kebanggaan hampa

Kupotong kalimat,
Kusisipkan jargon murahan
Publik pun bersorak
Bukan karena benar, tapi karena berani tak tahu malu

Aku dijadikan motivator
Bukan karena pintar
Tapi karena bodohku membuat banyak orang merasa pintar


VIII. Parade Parodi

Lihatlah aku berdansa
Di atas buku yang kugunting halaman akhirnya
Karena malas baca, tapi ingin tampak bijak
Kupakai kacamata baca tanpa minus—sekadar aksesoris citra

Aku dijadikan meme
Kata mereka: "Pandir ini lucu juga ya"
Dan aku pun percaya
Lucu itu lebih laku daripada logika


IX. Tragedi Berulang

Suatu hari, kutemui anak muda
Bertanya padaku:
“Om, kenapa om suka bilang orang bodoh?”
Dan aku menjawab:
“Karena kalau aku bilang aku yang bodoh, siapa yang tepuk tangan?”

Ia tertawa pelan, lalu pergi
Meninggalkanku bersama gema suaraku sendiri
Lama-lama aku sadar,
Yang kubodohi—ternyata diriku sendiri


X. Epilog Si Pandir

Kini aku tua,
Kepalaku dipenuhi jargon usang
Anakku bertanya:
“Papi, apa hikmat itu?”
Kupandang dia… lalu diam

Karena ternyata
Aku menghabiskan hidup mencaci hikmat
Tanpa pernah mengunjunginya sekali pun


5️⃣ Refleksi / Penutup

Puisi ini adalah cermin retak yang menampilkan wajah ironis manusia modern—mereka yang tak tahu, namun merasa tahu, dan menjadikan ejekan sebagai senjata ilusi kuasa.
Sindiran ini menyasar para pengklaim kebenaran tanpa dasar, yang membungkus kebodohan dengan arogansi dan membungkam akal dengan sorak sorai.

Pesan moralnya sederhana namun menyakitkan:
Kebijaksanaan tak bersuara keras, tapi kebodohan selalu pakai mikrofon.
Dan dalam dunia yang gaduh, hanya yang bijak yang cukup hening untuk benar-benar mendengar.


Judul: "Monolog Si Dungu yang Mengira Dirinya Langit Ketujuh"

Pengantar
"Saya pintar, kamu bodoh!" katanya sambil meludah ke bawah. Tapi ia tak sadar berdiri di atas bayangannya sendiri.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


I. Lahirnya Sang Cerdas Palsu

Aku lahir dari rahim sombong, Dengan tali pusar dari benang ilusi. Namaku? Ah, panggil aku: Si Paling Tahu! Lulusan akademi tukang debat jalanan, Ijazahku: selarik kata, “Kau bodoh!”

Aku bangkit bukan karena bisa, Tapi karena suara sumbangku keras, Telingamu berdarah? Bukan urusanku, Karena katanya, itu tanda aku bijaksana.


II. Saya Pintar, Titik!

“Saya pintar! Dan kamu... kamu hanyalah titik koma tak berguna!” Begitu pekikku dari atas kursi plastik murahan Di warung kopi yang kusebut mimbar intelektual Sambil mengutip filsuf yang tak pernah kubaca

Aku tahu segalanya, kecuali: Bagaimana membuat satu karya pun Bagaimana mengerti diam dan mendengar Bagaimana tak terlihat tolol meski mulutku ramai


III. Karya? Untuk Apa? Saya Sudah Pintar!

Mereka tanya, “Mana hasilmu?” Kubalas dengan tawa dan ludah verbal: “Karya itu overrated! Bicaraku saja sudah seni!”

Tapi yang kulahirkan hanyalah: Status Facebook murahan, Komentar penuh capslock dan kosong makna, Dan presentasi PowerPoint tanpa isi, penuh grafis ala kadarnya


IV. Si Paling Benar

Aku debat semua orang, Dari anak TK sampai doktor riset nuklir, Semua salah kecuali aku, Karena akulah versi lokal dewa logika!

“Diam kau! Bodoh kau!”—adalah mantra suciku. Aku sembah egoku tiap pagi, Kupeluk bayanganku tiap malam, Sambil membisikkan: "Kau yang paling, paling, paling!"


V. Konyol di Balik Kesombongan

Lucu juga sebenarnya, Aku sering tertukar antara opini dan fakta, Antara retorika dan logika, Tapi tetap aku bilang: “Kamu tidak tahu apa-apa!”

Aku adalah orang yang memukul meja Ketika kehabisan argumen Dan berkata, “Saya sudah hidup lebih lama, jadi lebih tahu!” Padahal usia cuma menghitung waktu, bukan kebijaksanaan.


VI. Majikan Kosong di Singgasana Egonya

Aku duduk di atas singgasana plastik, Dikelilingi oleh anggukan palsu Dari para pengikut yang hanya takut dibentak

Kupikir mereka kagum, Padahal mereka cuma bosan Mendengar ocehanku tiap hari Tentang betapa aku tahu segalanya


VII. Cermin Retak dan Refleksi Palsu

Pernah sekali, aku bercermin Dan kulihat wajahku sendiri: menua dalam kebodohan Keriput bukan karena berpikir, tapi karena marah tak beralasan

Aku cubit diriku: “Benarkah aku pintar?” Cermin tertawa: “Kau pintar, tapi hanya dalam hal menghina.”


VIII. Kesombongan yang Membusuk

Satu demi satu orang menjauh, Satu demi satu forum menutup pintu, Satu demi satu tawa beralih ke iba

Aku mulai berbicara pada tembok, Karena tembok tak pernah membantah Tapi tembok juga tak pernah mendengarkan


IX. Akhir Si Raja Tanpa Kerajaan

Kini aku duduk sendiri Di bangku lapuk yang dulu kusebut tahta Masih berkata, “Saya pintar!” kepada kucing jalanan Yang bahkan lebih paham diam daripada aku

Semesta pun menertawakanku Bukan karena aku lucu, tapi karena tragis Aku hidup seperti pelawak yang tak sadar sedang ditertawakan


X. Celaka Si Sok Tahu

Di ujung waktu, Aku tak punya warisan selain ejekan Tak punya murid, tak punya teman, tak punya warisan Hanya ada jejak digital yang memalukan: Kebodohan yang diformalkan dalam huruf kapital

Aku—yang merasa terbang, Akhirnya jatuh tak menyadari: Sayap yang kupakai terbuat dari kebohongan diri


Refleksi Penutup

Puisi ini menyibak wajah konyol dari manusia yang merasa paling tahu segalanya namun miskin karya, miskin jiwa, dan miskin akal. Sindiran ini ditujukan kepada mereka yang menjadikan hinaan sebagai bahasa, merasa diri paling unggul tanpa pernah menciptakan apa pun selain kebisingan.

Hidup bukan soal siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling dalam.
Karena di ujungnya, sombong itu bukan mahkota, tapi beban.


refleksi untuk seseorang yang tidak perlu di sebutkan namanya karena dengan menyebut namanya akan ada efek domino dari sombong konyolnya bahkan merendah penulis  yang di anggap sampah, sampai penulis menuliskan ini  saya merasa kasihan pada orang tersebut, karena orang dekatnya dari istri,anak,menantu, dan orang lain menjauhinya, karena bila di ajak komunikasi tidak bisa dua arah, dan perkataan khasnya " kamu tahu!! dan Pahami..!!! saya ini Sarjana science dan lebih pintar dari kamu Goblok..!!" padahal prestasinya pun tidak ada , tinggal di rumah mertua, mobil hasil korupsi usaha mertuanya. Saya tidak dapat bayangkan bila mana suatu hari dia sakit dan tidak bisa bergerak, siapa yang dapat di mintai tolong ? bahkan untuk kuburkan mayatnya bila sudah mati? silahkan komentar dikolom komentar

Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)