Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra )
"Langit Retak di Atas Baliho: Ketika Tuhan Kehilangan Suara di TPS"
Pengantar Pendek:
“Konon, jika Tuhan turun ke bumi, Ia harus daftar dulu di KPU—dan itu pun, belum tentu lolos verifikasi berkas.”
Aku Tuhan.
Mungkin.
Atau sekadar tokoh pembuka acara sebelum jingle partai.
Hari ini aku hadir, bukan karena doa kalian,
tapi karena undangan panitia kampanye.
Katanya:
“Biar lebih khidmat, Pak Tuhan. Tapi jangan terlalu serius.
Nanti massa kabur.”
Katanya lagi:
“Bawakan pesan moral, ya. Tapi jangan bawa-bawa neraka.
Kami sedang branding ulang spiritualitas menjadi soft-sell.”
Aku turun—dengan sinyal susah payah
melewati awan yang tersumbat iklan.
Langit tak menyambut,
hanya layar LED ukuran gergasi
bertuliskan:
“VOTE YANG ILMIAH, BUKAN ILAHIAH!”
Aku mengangkat tangan,
kitab di kanan, naskah firman di kiri.
Tapi manusia lebih tertarik pada flyer bertuliskan:
“Sembako Gratis, Kalau Menang.”
Mereka tak menengok.
Matanya terpaku ke layar ponsel,
bibirnya melafalkan janji-janji yang kutulis ribuan tahun lalu
namun kini disesuaikan dengan algoritma.
Aku dikerubungi,
bukan karena ingin disentuh,
tapi karena dianggap simbol eksotik,
hiasan yang cocok di TikTok kampanye.
“Tuhan, bisa senyum sedikit? Biar thumbnail-nya cakep.”
Klik.
Filter.
Posting.
#TuhanTurun #LikeForHeaven
Malaikat Jibril ikut hadir,
duduk di pojok, pegang spanduk:
“Kami Netral Sejak Sebelum Demokrasi.”
Tapi dipojokkan juga,
karena katanya, dia bukan warga lokal.
Aku sempat ingin bicara:
tentang kasih, tentang nurani,
tentang dosa kolektif dan pahala yang bersifat sistemik.
Tapi mikrofon dicabut.
“Waktunya Debat Kandidat. Anda sudah out of script.”
O, manusia.
Dulu kalian menangis minta mukjizat,
kini kalian bertepuk tangan untuk presentasi PowerPoint.
Dulu kalian puasa, kini diet gluten.
Dulu berdoa, kini donasi online agar dapat ‘insight surgawi’.
Aku dituduh bias.
Katanya, Tuhan tak boleh cawe-cawe.
Padahal mereka mencatut namaku di setiap baliho.
“Bersama Tuhan, Kita Menang!”
“Calon Wakil Surga Anda di Parlemen!”
Aku...
entah siapa aku di negeri ini.
Seorang pemimpin spiritual yang dijadikan bumbu kampanye,
atau sekadar kata benda yang bisa dicetak di kaus.
“Tuhan, Anda pendukung siapa?”
Tanya wartawan.
Aku menjawab jujur:
“Aku mendukung kejujuran.”
Lalu mereka tertawa.
“Hah? Itu bukan partai, Pak.”
Tiba-tiba langit tersentak,
bukan karena doaku,
tapi karena drone pembawa spanduk partai menabrak awan.
Di bawah, massa mulai bubar.
Bukan karena tobat,
tapi karena paket data habis.
Dan aku ditinggal.
Sendiri.
Di tengah lapangan kampanye,
dengan panggung yang sudah dilipat,
dan janji yang tak lagi diingat.
Tuhan pun tahu diri.
Tuhan pun tahu waktu.
Aku pamit tanpa tepuk tangan,
karena tepuk tangan hanya untuk orasi yang menjanjikan Wi-Fi gratis.
📜 Tuhan Turun di Tengah Kampanye (Versi 2)
Karya Pengembara Hidup: Japra
Judul Tambahan:
"Kartu Nama Tuhan Ditarik Balik: Karena Tak Punya Mesin Partai"
Pengantar Pendek:
Jika Tuhan datang ke TPS, jangan kaget jika Ia disuruh antri sambil tunjukkan e-KTP dan surat undangan.
Karena hari ini, suara Tuhan tak masuk dalam quick count.
Isi Puisi Satir (Versi 2 – Revisi Lebih Liar dan Tajam)
Aku datang.
Menuruni langit dengan suara petir yang sopan,
karena kebisingan manusia tak ingin tersaingi.
Langkahku menyentuh bumi yang dulu kusebut “baik adanya”,
kini penuh spanduk dan wajah manusia berukuran 4x6 meter
yang dijual murah di pinggir jalan.
Tangan kananku menggenggam kitab-kitab,
tapi semua mata lebih tertarik pada selebaran yang berbunyi:
“Caleg ini mencintai rakyat lebih dari keluarganya sendiri.”
Katanya:
“Pak Tuhan, harap antri.
Anda bukan VIP, Anda bukan anggota partai,
dan Anda belum lapor panitia.”
Aku diam.
Bukan karena ikhlas,
tapi karena muak.
Ternyata surga pun perlu izin keramaian jika ingin berbicara di panggung rakyat.
Aku mengangguk,
sebagai bentuk terakhir dari diplomasi surgawi
yang kini dikalahkan oleh buzzer berbayar.
Dulu manusia mencarinya lewat doa,
kini mencarinya di Twitter trending topic.
Dulu mereka minta hujan,
kini mereka bayar pawang.
Aku mendekati podium,
berniat menyampaikan tiga hal:
-
Cinta
-
Kejujuran
-
Tanggung jawab
Tapi kru kampanye menolakku.
“Kalau bisa, cukup satu kata. Biar catchy dan gampang diviralkan.”
Aku bingung.
Jibril juga.
Mikael bahkan buka Google Translate.
Apakah ‘tanggung jawab’ sekarang harus diganti jadi ‘branding’?
Apakah ‘cinta’ sekarang setara dengan ‘emoji hati’?
Di depan panggung,
massa berteriak lantang:
“Turunkan harga!”
“Naikkan harapan!”
“Hidup rakyat!”
Tapi mulut mereka sambil mengunyah nasi bungkus gratis
dengan stiker calon di bungkusnya.
Aku bicara:
“Wahai manusia,
jangan jadikan moral sebagai strategi elektoral.”
Tapi sound system memutus suaraku.
Operator bilang:
“Pak, itu tidak sesuai script. Kita sudah buat narasi lembut.”
Narasi lembut,
untuk dunia yang brutal.
Ibarat menyeka darah dengan tisu promosi.
Aku menatap langit,
mencari cahaya.
Tapi langit pun kini penuh drone dan satelit.
Cahaya surgawi tak lagi terlihat,
terhalang sinyal dan LED 8K.
Aku mendekati seorang ibu.
Kudengar ia berdoa lirih,
namun saat kulihat, ia sedang Live TikTok.
Caption-nya:
“Doain ya bestie, biar calegku dapet kursi DPR! 💕”
Tuhan pun harus belajar akronim.
DPR? Dosa Perwakilan Rakyat?
Atau Doa Palsu Rutin?
Aku mencari bait-bait doaku dulu,
yang biasa diucapkan dengan air mata.
Tapi kini, doa dicetak massal,
dijadikan brosur.
Wanginya parfum lokal.
Tuhan pun sadar diri.
Bahwa di era ini,
iman adalah materi kampanye.
Dan etika adalah retorika.
Seseorang menepuk pundakku.
Pemuda dengan rompi relawan.
Dia bertanya:
“Pak Tuhan, Bapak tim sukses dari mana?
Ada ID card-nya?”
Aku ingin tertawa,
tapi neraka di dadaku mendidih.
Aku, yang menciptakan semesta,
ditanya surat tugas.
Ditanya bukti keterlibatan.
Akhirnya aku duduk di pinggir panggung.
Bersama kucing jalanan dan anak kecil yang tak diberi nasi kotak.
Kami berbagi diam.
Karena diam adalah satu-satunya ruang yang belum direklamasi iklan.
Seseorang berkata kepadaku:
“Tuhan, Anda outdated.”
“Kami butuh solusi konkret. Bukan khotbah.”
“Kami mau cashback, bukan sabda.”
Aku pun membuka lembar kitab.
Namun sebelum terbaca,
seseorang menariknya sambil berkata:
“Bisa dijadikan kertas suara cadangan?”
Maka kututup kitab itu.
Bukan karena kecewa,
tapi karena huruf-hurufnya mulai menghilang sendiri,
tak kuat tinggal di dunia yang mengganti kejujuran dengan gimmick.
Langit mulai gelap,
padahal belum senja.
Mungkin karena surga pun tak tahan lihat drama ini.
Mungkin karena malaikat sudah memutuskan abstain.
Aku berdiri pelan,
langkah kaki berat,
karena bumi tak lagi punya gravitasi moral.
Lalu aku berbisik pelan:
“Kalian pilih siapa pun yang kalian suka.
Tapi jangan jadikan Aku sebagai saksi palsu.”
5️⃣ Refleksi / Penutup:
Puisi ini adalah cermin yang menyindir keras bagaimana spiritualitas seringkali hanya dijadikan alat kosmetik politik. "Tuhan" dalam puisi ini mewakili nilai-nilai luhur yang terpinggirkan oleh hiruk-pikuk kampanye yang penuh kepura-puraan. Sindiran ini menyasar mereka yang menjual iman demi suara, serta publik yang mudah lupa bahwa moral bukan slogan, dan nurani tak bisa dicetak di baliho. Pesan moralnya: Jika Tuhan pun tak didengar dalam kampanye, siapa lagi yang kita percaya selain polling dan konten viral?
Versi kedua puisi ini memperluas sketsa sindiran sosial: bagaimana dalam realitas kampanye politik, nilai-nilai sakral seperti kebenaran, keadilan, dan ketulusan—yang mestinya menjadi fondasi spiritual dan moral masyarakat—justru dipolitisasi, didegradasi, dan dipakai sebagai kosmetik elektoral. Sindiran ini tidak hanya menyasar politisi, tetapi juga publik yang permisif, dan budaya yang membiarkan spiritualitas dijadikan komoditas.
Pesan moralnya: Jika hari ini Tuhan turun, Ia mungkin hanya dianggap talent dadakan—dan bukan narasumber utama. Maka, mungkin, sudah waktunya kita tanya: Siapa sebenarnya yang kita sembah di musim kampanye ini?
ini hanyalah karya satirmonolog belaka dari sudut pandang penulis yang menulis sudah dalam keadaan tidak bisa berjalan dan mengetik karena menderita sakit Stroke, tulisan ini di susun melalui bantuan Roh Kudus melalui Voice Note.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."