Janji Kampanye yang Menjadi Meme

jeffriegerry12@gmail.com
0

 

“Manifesto Seblak dan Ayat-Ayat Gimmick”
Kampanye: di mana logika dirias, dan mimpi dijual kiloan.


📜 Pengantar Singkat
"Di atas panggung janji, kata-kata ditabur seperti pupuk: harumnya hanya sampai saat pemilu."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

Wahai mikrofon suci yang bergetar di mulut para nabi elektoral,
biarkan aku berkhotbah!
Atas nama rakyat yang katanya mulia,
aku bersumpah pakai naskah drama
dan daun salam dari dapur dapil tiga.


Aku ini lidah dari barisan balon plastik,
yang dikempiskan setelah tanggal coblos,
janji-janji kukunyah bagai kerupuk seblak
panas, pedas, dan penuh nostalgia... palsu.

"Gratis!" kataku,
"Untuk semua!" sahutku,
tapi jangan tanya kapan,
karena janji adalah seni ilusi berdurasi lima tahun
dengan jeda iklan gincu subsidi dan piring kosong.


Di atas panggung aku berdiri seperti ilham,
senyumku sudah dites di kaca lima arah,
agar kau percaya aku bukan manusia—
tapi mukjizat dengan blazer pinjaman.

“Lapangan kerja terbuka!”
ujarku kepada petani yang tak punya ladang.
“Internet gratis untuk desa!”
kataku dari Wi-Fi hotel bintang lima.
“Anak muda akan kuangkat!”
tapi hanya untuk pasang baliho dan bersih spanduk setelah pesta.


Ah, rakyat…
Kalian seperti ex yang percaya mantan berubah—
padahal cuma ganti style.


Anak-anak sekolah kutitip janji seragam dan susu,
sementara sekolah roboh kututup dengan quote bijak.
Kubicarakan transformasi digital,
tapi KTP-mu masih nyangkut di kecamatan,
tertukar dengan nama hantu di TPS fiktif.


Mereka memujaku:
“Lihat! Pemimpin sederhana, makan di warteg!”
Padahal dompetku lebih kompleks dari APBN.
Bahkan nasi padang yang kutenteng
dibayar staf, difoto tiga angle, lalu dibuang karena diet keto.


Wahai rakyatku,
aku cinta kalian… saat dibutuhkan.
Selebihnya, aku alergi pada keluhan jalan rusak dan BPJS kosong.
Tapi hey, aku ahli senyum!
Karena senyum adalah solusi tanpa biaya
yang membuatmu lupa minyak goreng menghilang.


Aku bicara integritas dengan lidah beling,
menjanjikan dunia yang adil,
padahal bajuku menjual nama Tuhan dan foto anak yatim.
“Korupsi akan aku basmi!”
kata pria yang selfie dengan tikus berdasi di lobi DPR.


Waktu debat, aku garang.
Seperti ayam jago terlatih retorika.
Tapi begitu menjabat,
aku berubah jadi kucing rumahan yang hanya mengeong
saat disorot kamera.


Oh ya, soal lingkungan hidup,
tenang, aku janji tanam pohon!
Satu batang per selfie—
diiringi bulldozer yang membuka tambang haram.


Kau ingat aku bicara tentang pendidikan?
Bahwa “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”?
Tapi kuletakkan mereka di bawah
pemburu jabatan yang tak bisa ejaan “kurikulum”.
Lalu kutebar sertifikasi bak konfeti,
tanpa tahu isinya apa.


Aku berdiri atas panggung rakyat,
tapi berdiri di pundak sponsor.
Kaos gratismu kutukar
dengan perizinan proyek tol yang membelah sawah.
Payung oranye-mu kubayar
dengan gedung tinggi yang menyembunyikan laut.


Tentu aku tak lupa agama!
Biar ceramahku dikutip TikTok dan TikTokers—
“Pemimpin ini religius, sobat!”
Padahal surga yang kumaksud,
lokasinya di properti elit
yang bebas pajak dan penuh janji level platinum.


Lalu meme pun lahir dari dusta yang menari.
Kata-kataku jadi punchline,
diolah netizen jadi festival tawa.
“Janji tinggal janji!” jadi bahan stand up comedy
dan status ibu-ibu yang bosan disuruh sabar.


Tapi aku tak gentar.
Aku sudah biasa jadi bahan bakar hoax,
selama itu menaikkan elektabilitas.
Karena di negeri ini,
yang penting viral dulu,
visi urusan nanti.


Setiap kali janjiku jadi bahan meme,
aku hanya tersenyum dan berkata:
“Ini bukti saya dikenal rakyat.”
Dan mereka, yang lapar dan lelah,
entah harus tertawa atau menangis.


Rakyatku, jangan marah.
Kalian juga punya dosa:
terlalu cepat memaafkan,
terlalu mudah melupakan.

Kita saling mempermainkan,
kau dengan harapmu,
aku dengan tipuan lembutku.


Pemilu usai.
Baliho dibongkar.
Spanduk dibakar.
Hatimu tetap lapar.
Dan aku?
Aku sibuk bagi-bagi kursi seperti warisan
yang diwariskan dari nenek moyang oligarki.


“Negara adalah panggung,
dan aku lakonnya.”

Uangmu adalah tiket masuk,
tapi naskahnya aku yang tulis,
dengan tinta dari tinta simpati,
dan air mata yang—maaf—
kurasa bisa dijual juga.


Kini kau tanya aku:
Mana janjimu, Pak?
Aku jawab:
"Masih dalam proses,
sedang disusun oleh tim ahli pengaburan janji."


Dan bila kau ingin demo,
aku siapkan panggung kosong dan nasi bungkus.
Karena aku tahu,
sekuat apapun teriakmu,
akan padam oleh lagu kebangsaan dan undang-undang baru.


Tapi jangan khawatir!
Saat lima tahun habis,
aku akan datang lagi—
dengan gaya baru,
tim baru,
dan janji yang didaur ulang dari pidato sebelumnya.


"Gratis pendidikan!"
"Subsidi rumah!"
"Zero pengangguran!"
"Keadilan sosial!"
Sudah pernah dengar, kan?
Tentu.
Karena itu adalah playlist favorit setiap kampanye.


🎤 Refleksi / Penutup
Puisi ini adalah satire keras dan jujur terhadap janji-janji kampanye yang menjadi komedi publik, meme-meme yang lahir dari harapan yang dikhianati. Ia menyasar para politisi yang menjadikan kata-kata sebagai alat manipulasi, bukan perubahan. Tapi juga mencolek rakyat yang kadang terlalu mudah dibius retorika. Pesannya jelas: Demokrasi bukan panggung sandiwara, kecuali kita semua memilih jadi penontonnya. Maka bijaklah memilih—dan lebih bijak lagi, tidak mudah lupa.




“Injil Elektabilitas: Kitab Tipu-Tipu Berayat Slogan”


📜 Pengantar
“Di negeri yang menukar nurani dengan stiker, suara rakyat hanyalah gema GIF 5 detik.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


Injil Elektabilitas: Kitab Tipu‑Tipu Berayat Slogan


Prolog
Dengarkan!—suara toa berkarat itu lagi-lagi melolong,
menaburkan mantra: “Percayalah, besok gratis!”
Padahal hari ini tagihan listrik masih menahan napas,
menunggu disubsidi ilusi.


1. Pasal Spanduk 1:1

Aku—nabi billboard berjas abu-abu—turun dari langit baliho,
membawa wahyu potongan pita dan potongan PPN.
Sujudlah pada wajahku yang diputihkan Photoshop,
karena cahaya kulitku diatur ISO demi survei semester dua.

Rakyatku,
kau haus? Minumlah janji botol mineral yang kubagikan;
labelnya “Air Perubahan”, isinya sumur bor belum digali.
Jika nanti tenggorokanmu kering,
anggap saja kau sedang berpuasa demi kemajuan bangsa.


2. Mazmur Mikrofon

Mikrofon ini sakral:
ia menyaring batukku, memoles falsku,
mengubah deham jadi stamina visioner.
Setiap desah retorika kuhembuskan seperti dupa:
separuh parfum, separuh emisi karbon.

Aku berseru,
“Lapangan kerja seluas samudra!”
Padahal kakiku menginjak pasir reklamasi,
merekam selfie dengan cranes yang mengusir nelayan.
Tenang, mereka kupanggil “duta bahari” agar tabah.


3. Kitab Dana Desa

Aku berjanji anggaran akan mengalir sampai sawah terbasuh,
tapi muara uangnya belok di vila paman—
tercatat rapih sebagai “biaya koordinasi & studi banding pantai Bali”.
Sudahlah, petani cukup diberi seminar zoom tentang blockchain.
Bukankah teknologi bisa menumbuhkan padi dalam PowerPoint?


4. Amsal Emak-Emak

“Minyak goreng takkan langka!” suaraku menggema,
sementara rak swalayan kosong seperti hati mantan.
Kuminta ibu-ibu bersabar,
karena server distribusi sedang error.
Padahal drum minyakku sudah terjual
ke perusahaan yang mendanai café tempat aku live podcast.


5. Syair Startup Surga

Anak muda,
kutawarkan co‑working space di surga unicorn:
Wi‑Fi cepat, kopi gratis, dan janji funding unlimited.
Tapi agar kurasai euforiamu,
upload dulu TikTokmu pakai lagu kampanyeku,
biar algoritma mengira cinta adalah filter wajah merona.
Lalu saat server padam,
kau sadar kontrakmu cuma sebatas beta version 5 tahun.


6. Injil Infrastruktur

Kubentang jalan tol menembus ladang.
Di atas aspal panas,
kuletakkan peta utopia:
“Dari pelabuhan hati ke sentra logistik kesejahteraan.”
Padahal ujung jalannya cul‑de‑sac:
Tembok vila investor,
pos satpam berdasi,
dan tarif pintu tol yang membuat dompetmu lari maraton.


7. Surah Slogan Spiritual

“Bersama saya, moral kembali terang!”
seruku sambil memegang tasbih, salib, dupa, dan hio sekaligus—
paket lengkap spiritualitas multi‑segmen.
Kuaduk seluruh ayat agar rasanya netral,
seperti susu kental manis tanpa susu.
Jika kau bertanya di mana keadilan?
Kuangkat papan quotes motivasi,
dibubuhi hastag #Ikhlaskan.


8. Epik Ekonomi Pancake

“Kue nasional akan kita bagi rata!”
teriakku sembari memotong pancake di talk show prime time.
Icing‑nya manis, fotogenik untuk Instagram Reels;
tapi adonannya berasal dari tepung bantuan
yang kau antri dua jam di gerimis.
Tenang, foto antrean itu kugunakan konten
“Bersatu dalam semangat.”


9. Ode Oposisi Jadi Koalisi

Dulu aku mengumpat sang petahana
seperti koala memaki eucalyptus pahit.
Hari ini kami berpelukan depan kamera,
karena algoritma elektabilitas
lebih sakral dari sumpah serapah.
“Demi stabilitas!” bisikku,
sementara catatan skandal kami dihanyutkan
ke sungai trending topic yang umur hidupnya 24 jam.


10. Litani Lupa Kolektif

Wahai memori publik,
kau rapuh seperti kuota harian.
Begitu notifikasi gosip artis muncul,
semua berita proyek mangkrak langsung skip ad.
Aku tahu,
maka kugelontor konten “fun run” dan giveaway sepeda,
biar kau sibuk screenshot voucher
ketimbang memeriksa laporan BPK.


11. Doa Debat Televisi

Di panggung debat,
kusulap diriku gladiator kata-kata,
menusuk lawan dengan statistik berkaleng-kaleng.
Darahnya bukan merah,
melainkan data mentah diolah buzzer.
Penonton bersorak,
lupa bahwa gladiator, singa, dan jaring
semua dibayar sponsor minuman energi
yang menunggak cukai.


12. Surat Skor Survei

Skorku naik!
Puji Tuhan, puji algoritma.
Angka-angka itu seperti injil
dibacakan pastor digital lewat push notification.
Jika turun?
Tenang, masih ada margin of error—
serta influencer yang rela mengubah opininya
dengan diskon mobil listrik.


13. Kitab Meme Mesias Palsu

Akhirnya internet menertawaiku:
janji-janji kutransformasi jadi stiker WhatsApp.
Aku jadi bahan parodi,
tapi namaku kian lekat di saraf publik.
Sebab di abad like dan LOL,
malu adalah promosi gratis.
Maka kubiarkan diriku dipermalukan,
karena satu viral setara satu kursi rapat.


14. Ayat Apologia Pasca-Menang

Kursi empuk, AC dingin,
pemandangan kota dari lantai 30.
Rakyat mengetuk,
kuangkat telpon:
“Maaf, saya on progress,
tunggu grand design rampung,
insyaallah trimester ketiga dekade depan.”
Sambil itu,
kuperhalus pasal makar,
agar teriakanmu terdengar merdu
seperti bisikan meditasi.


15. Doa Daur‑Ulang Lima Tahunan

Jam pasir hampir habis—
aku bersiap ganti jargon.
Logo lama kupreteli,
warna kuberi nuansa pastel,
agar generasi baru mengira aku startup segar.
Sementara motto “Kerja Nyata”
ku‑upgrade jadi “Hidup Nyata”
karena rebranding adalah sakramen penebus dosa.


16. Refrain Refleksi Rakyat

Tapi entah kenapa,
hari ini kau menatapku tanpa tepuk tangan.
Mungkin perutmu terlalu kosong
untuk menelan retorikaku lagi.
Mungkin meme-meme sudah tak lucu,
karena harga beras tak mengenal punchline.
Atau mungkin kau akhirnya paham
bahwa demokrasi tanpa daya ingat
hanyalah lomba cosplay kejujuran.


Epilog
Maka kututup mimbar sambil bertanya lirih,
“Rakyatku, apakah kau masih sudi jadi latar fotoku?”
Dan kau menjawab tanpa kata—
hanya menggenggam surat suara
seerat menggenggam ingatan.


🔍 Refleksi / Penutup

Puisi ini mencambuk politisi yang memutarkan kaset slogan sampai aus, namun juga menegur warga yang rela dibius tontonan singkat. Satir ini ingin menancapkan duri ingatan: janji yang tak diingatkan akan membusuk, dan suara yang tak diawasi akan dipinjam kekuasaan. Pesannya jelas—kedaulatan bukan pesta lima tahunan, melainkan kewaspadaan harian. Jadi, kepada siapa pun yang membaca: pilihlah dengan kepala dingin, awasilah dengan mata tajam, dan ingatlah lebih lama dari siklus meme.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)