"Aku, Mahakarya Kesedihan dalam Bingkai Ketidakberdayaan"
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar:
Ada yang lebih getir dari luka: yaitu ketika kau tertawa atas hidupmu sendiri, bukan karena bahagia... tapi karena sarkasme adalah satu-satunya terapi gratis di dunia ini.
Aku adalah tokoh utama dalam drama tragedi, Tanpa naskah, tanpa sutradara, Namun selalu tampil... kalah.
Aku, manusia hasil diskon semesta, Dijual obral pada takdir yang sedang iseng, Dan dibungkus rapi oleh doa-doa basi yang tak pernah dikirim.
Katanya aku harus bangkit, Tapi dari mana? Lantai hidupku saja sudah lenyap sejak subsidi nurani dicabut.
Mereka bilang, “Jangan menyerah.” Lalu menepuk pundakku— Tepuk palsu, seperti iklan kesehatan di rokok kretek.
Aku lulus dengan IPK harapan, Sarjana dengan spesialisasi: Menunggu Mujizat, Magister dalam Ilmu Bertahan Hidup dengan Muka Biasa.
CV-ku ditulis pakai air mata, Surat lamaran kububuhkan parfum utang, Dan jawaban HRD? Senyap... seperti suara hati menteri saat kampanye berakhir.
Aku melamar ke Tuhan, Tapi mungkin alamat e-mail surgawi sudah diganti, Atau server-Nya down karena terlalu banyak permintaan absurd.
Aku mencoba wirausaha: Menjual harapan— Tapi stoknya kosong, karena semua sudah diborong caleg tempo hari.
Aku pernah mencintai— Tapi cintaku kalah tender dengan saldo e-wallet orang lain. Cintaku pun bertransformasi: dari bunga, jadi biaya administrasi.
Temanku bilang, “Sabar, bro. Tuhan adil.” Tapi dia bilang itu sambil makan wagyu, di atas mobil listrik, Sedang aku mengunyah mie tanpa bumbu sambil mencharge harapan dengan powerbank spiritual.
Aku pernah ikut webinar motivasi— Katanya: “Mindset is everything!” Lalu aku mengatur mindset: Bahwa gagal itu sukses yang menyamar, Dan lapar hanyalah meditasi bertahap.
Aku, aktor utama dalam sinetron hidup level FTV gagal tayang. Diperankan oleh aku sendiri, disutradarai oleh kenyataan, Dan diproduksi oleh sistem sosial yang senang menyalahkan korban.
Katanya: “Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan.” Maka aku simpulkan: Aku ini ternyata superhero yang tidak tahu kekuatannya apa, Mungkin bisa terbang, tapi sayapnya disita BPJS.
Dulu, aku bercita-cita jadi presiden, Tapi kini aku cukup puas jadi warga negara yang tidak ikut antri bansos, Bukan karena kaya, tapi karena malu dilihat mantan.
Kadang aku tertawa sendiri, Melihat spanduk motivasi di jalan raya: “Kerja keras kunci sukses!” Padahal yang pasang spanduk itu dapat tender karena saudara sekampung.
Aku adalah pelengkap statistik kemiskinan yang tidak ekstrem, Terlalu miskin untuk investasi, Tapi terlalu melek informasi untuk mati tanpa sadar.
Aku, korban dari sistem meritokrasi palsu, Di mana koneksi lebih berharga dari kompetensi, Dan IPK bisa dikalahkan oleh QR Code undangan pernikahan pejabat.
Aku bangga, Karena meski gagal terus, Aku tetap sabar, Sabar yang bukan dari hati, tapi dari tidak ada pilihan.
Aku disebut milenial, Tapi tabunganku lebih milenial daripada aku— Selalu hilang sebelum tanggal tua.
Aku mencoba konten, Menjadi influencer ketidakberdayaan, Followers-ku: Kegagalan, Sial, dan Kejadian Tak Terduga.
Aku pernah berdoa agar sukses, Tapi mungkin doaku pakai bahasa yang salah, Atau Tuhan menyuruhku install update terbaru: Iman versi 10.0.7
Aku, pahlawan tak dikenal di medan perang kehidupan, Senjataku: Meme, Tawa Sumbang, dan Quotes dari orang yang tidak kenal aku.
Aku bukan anti-sukses, Aku hanya alergi dengan sistem, Yang membuat orang pintar menjadi sopir orang beruntung.
Kadang aku berpikir, Apa hidupku ini hanya prank? Tapi siapa YouTuber-nya? Dan di mana tombol unsubscribe-nya?
Aku dituduh pesimis, Padahal aku hanya realistis dengan bumbu ironi, Dan sedikit topping sarkasme agar hidup lebih gurih.
Aku duduk di pinggir jalan, Memandangi billboard janji politik yang kini jadi sarang burung, Di situ, wajah sang kandidat masih tersenyum... Tapi tidak padaku.
Aku pernah menulis puisi cinta, Kini puisiku berganti tema: Sajak penderitaan, berjudul: “Kalau Hidup Punya CS, Aku Mau Komplain.”
Aku adalah guru besar di Fakultas Kecewa, Mengajar mata kuliah: Adaptasi Tanpa Harapan, Dan seminar terbuka: “Seni Bertahan dalam Kekalahan.”
Tapi jangan salah, aku tetap bangga: Karena aku tidak menyerah— Aku hanya... istirahat dari mimpi, Sambil ngopi dengan kenyataan yang suka nyindir.
Aku mencintai kehidupan, Tapi seperti mencintai mantan: sepihak. Hidup tak pernah menjawab pesanku—seen.
Aku menonton tutorial sukses, Namun yang mengajar adalah orang yang sukses karena views, bukan values.
Aku bercermin, Dan kulihat wajah seorang pejuang—tanpa medali, Tanpa piala, Tapi dengan bekas air mata yang membentuk peta perjalanan absurd.
Aku pernah jadi relawan, Tapi kemudian disingkirkan karena tidak cantik di foto.
Aku ikut lomba esai tentang ketulusan, Tapi kalah oleh anak pejabat yang baru tahu Word kemarin sore.
Aku pernah jualan kejujuran, Tapi tidak laku, Karena pasar lebih suka “branding” daripada “berdiri di atas kebenaran.”
Aku tetap hidup. Meski dunia menyuruhku pelan-pelan mati. Karena katanya: “Kalau tidak kuat, minggir.” Tapi trotoar pun kini disita pedagang janji.
Refleksi: Puisi ini adalah jeritan absurd dari jiwa-jiwa yang terkubur dalam tawa palsu. Sindiran ini untuk siapa pun yang pernah berjanji tanpa menepati, membangun sistem tanpa nurani, dan menjual harapan demi elektabilitas. Namun, di balik sarkasme ini ada nyala kecil: bahwa meski menyedihkan, manusia tetap bertahan—dengan humor, ironi, dan puisi sebagai pelampung terakhir logika.
Selamat tertawa... atau menangis. Atau keduanya, karena kadang hidup memang tak adil tapi lucu.
~ Japra
Aku, Pahlawan Tanpa Daya, Penghuni Tahta Kesedihan
[Pengantar] Dalam dunia yang katanya bebas, aku berdiri—bukan tegak, tapi tergelincir. Lihatlah aku, simbol keagungan yang tak bisa bayar listrik.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
[Aku, Sang Monumen Derita]
Aku adalah tokoh utama dalam tragedi sinetron Tanpa jeda iklan, tanpa penonton Dengan wajah penuh ironi dan bekas nasi basi semalam Aku duduk di singgasana plastik bekas ember cat, Menatap langit yang sudah tak peduli pada puisi-puisi usangku
Tanganku penuh luka, bukan karena revolusi Tapi oleh tutup kaleng sarden yang kujadikan pengganjal harapan
Aku bersumpah pada diri sendiri: Tak akan menyerah! Tapi sumpahku, seperti resolusi tahun baru—hidup hanya dua minggu
[Aku, Ahli Strategi di Medan Sofa]
Pahlawan zaman sekarang tak lagi pakai tombak Tapi remote TV dan password Wi-Fi Kuhadapi musuh terberat: rasa ingin mandi dan niat hidup Kalah... berkali-kali... tapi tetap update status
Kupasang wajah tegar di story Instagram, Dengan filter mata bersinar dan kata bijak hasil copas Padahal realitasku lebih cocok jadi iklan deterjen "sebelum dicuci"
Aku ahli taktik Strategi bertahan hidup dari belas kasihan Mengandalkan doa nyasar dan tag akun giveaway
[Aku, Korban Abadi Panggung Dunia]
Setiap pagi, aku bangkit seperti zombie dengan hutang tidur Sikat gigi pakai air galon tetangga Sarapan? Cukup mencium aroma mie instan yang bukan milikku
Aku berbakat: bisa menangis tanpa suara di toilet umum Berpura-pura telepon saat melewati mantan, Dan bersyukur meski dompetku hanya berisi kenangan
Aku mengenakan toga khayalan, Karena ijazahku lebih sering jadi alas mouse Ijazah itu suci, katanya Tapi hanya untuk foto lamaran kerja yang tak pernah dibaca
[Aku, Influencer Duka Nasional]
Followerku banyak, tapi hanya Tuhan dan nyamuk yang setia Statusku viral saat minta bantuan, bukan saat berbagi ilmu Dapat like saat jatuh, bukan saat berdiri Karena derita, kini, adalah konten
Kuposting tangisku dengan caption puitis: "Aku kuat, tapi Tuhan sedang ingin menguji stok sabarku." Padahal aku tak kuat, bahkan buat beli sabun
Ironis, ya? Kebodohanku dijadikan meme, Kegagalan jadi bahan TikTok anak muda sok motivator
[Aku, Mahaguru Ketidakberdayaan]
Aku lulus S3 dalam jurusan 'Pasrah dengan Elegan' Magister dalam bidang 'Menertawakan Nestapa' Dan profesor tamu di seminar 'Mengubah Air Mata Jadi Bahan Bakar'
Aku bisa tertawa pada kemalangan sendiri, Karena kalau menangis terus, takut air mataku dikeruk jadi tambang
Aku dibilang malas, Padahal aku sedang mempraktikkan filosofi zen dalam kemiskinan Dibilang tak ambisius, Padahal aku hanya tak ingin mengganggu sistem oligarki
[Aku, Superhero Tanpa Sponsor]
Namaku muncul di selebaran bantuan pemerintah Tapi bantuannya datang seperti kuntilanak: ditunggu tak muncul, muncul malah bikin takut
Aku pegang KTP, KK, dan kartu sakti segala rupa Tapi kenyataannya, hanya kartu utang yang aktif
Negara? Ada katanya, Tapi hanya saat aku jadi statistik kegagalan Janji manisnya lebih memabukkan dari ciu oplosan
Dulu katanya: "Anak bangsa harus sejahtera" Kini: "Anak bangsa harus sabar dan diam saja"
[Aku, Pemeran Figuran Dalam Narasi Pahlawan]
Setiap lima tahun, aku berubah Dari manusia ke massa Dari warga ke target suara Dari pengangguran ke pejuang demokrasi
Dijanjikan surga bertingkat dan jalan tol ke cita-cita Tapi yang kuterima hanya amplop berisi harapan fotokopi
Kubilang: "Aku ingin kerja!" Mereka jawab: "Sabar, nanti juga ada proyek." Proyeknya datang: jadi tukang tepuk tangan di acara kampanye
Kubilang: "Aku lapar!" Mereka kasih kaos, topi, dan nasi bungkus basi
[Aku, Penjaga Gerbang Satir Dunia]
Kini aku sadar Aku bukan korban, aku ikon Ikon dari semua yang disembunyikan di balik baliho janji
Aku berdiri tegap (dalam hati) Mengangkat bendera sobek bertuliskan: "Tak mengapa tak berdaya, asal memesona dalam nestapa"
Karena inilah zamanku Zaman di mana duka adalah tontonan Dan keluh kesah bisa dimonetisasi
Aku tersenyum... Bukan karena bahagia, tapi karena ironi terlalu manis untuk dilawan
[Refleksi Penutup]
Puisi ini menyindir mereka yang menjanjikan perubahan tapi hanya mengemasnya dalam kata-kata hampa. Sindiran ini menyasar para pemimpin palsu, publik yang mudah terhibur, dan sistem yang lebih suka meme ketimbang makna. Nilai moralnya: Ketidakberdayaan bisa jadi panggung, tapi jangan biarkan itu jadi identitas permanen. Tertawa boleh, tapi sadar dan bergerak jauh lebih penting.
CV Duka: Aku Si Profesional Dalam Ketiadaan
[Pengantar] Jika hidup adalah lowongan kerja, maka aku adalah kandidat sempurna: penuh pengalaman gagal, skill menangis diam-diam, dan portofolio ketiadaan yang mumpuni.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
[Aku, Lulusan Universitas Kehampaan]
Namaku tercetak jelas di ijazah kehidupan, Magna cum laude dalam jurusan "Menelan Kenyataan Tanpa Air."
Kuliah panjang di ruang tunggu janji, Skripsi tentang "Dampak Harapan Palsu Terhadap Kesehatan Mental." Dosen pembimbingku? Nasib buruk dan cuaca buruk.
Prestasiku banyak:
Finalis lomba berharap pada pemerintah
Juara harapan 3 dalam kompetisi hidup hemat tanpa penghasilan
[Aku, Buruh Pikiran Tak Bergaji]
Aku kerja full-time sebagai pengkhayal Shift malam hingga pagi, tanpa tunjangan kesehatan
Jobdeskku:
Menyusun rencana hidup yang selalu dibatalkan realita
Menyimpan kata-kata bijak yang tak bisa dimakan
Menyunting harapan agar tak terlalu mencolok
Bosku? Ego, ketakutan, dan memori masa kecil yang belum move on
[Aku, Bintang Tamu Tetap di Acara Gagal Nasional]
Setiap minggu ada episode baru: "Pengangguran Bertahan di Tengah Promo Makanan yang Menggoda" "Kredit Ditolak, Mimpi Tertolak Juga"
Aku muncul sebagai cameo di berita lokal: "Warga tak dikenal menatap kosong ke langit tanpa alasan."
Komentar tetangga: "Dia baik kok, cuma hidupnya agak kebanyakan hening."
[Aku, CEO Perusahaan Kesepian]
Visi: Menciptakan kekosongan berkualitas Misi: Membagikan keheningan kepada siapa pun yang lewat
Aku rapat sendiri, diskusi dengan bayang-bayang, Mengeluarkan notulen berupa air mata Laporan keuangan? Selalu defisit, bahkan dalam imajinasi
[Aku, Marketing Produk Palsu Bernama Harapan]
"Bersabarlah, nanti juga datang keberuntungan," begitu slogan yang kubagi tiap hari Padahal aku tahu, yang datang cuma SPAM dan iklan pinjol
Aku mengirim lamaran pada Tuhan, Tapi HRD-nya bilang: "Masih dalam proses, tetap semangat ya."
Pernah sekali mimpi: jadi orang besar Bangun tidur, sadar... yang besar cuma tagihan listrik
[Aku, Ahli Waris Kemiskinan Estetik]
Kami, kaum elegan dalam keterbatasan Yang makan mi instan dengan garpu perak warisan Yang membaca buku motivasi di bawah atap bocor
Kami tetap tampil stylish—baju lusuh yang diberi label "vintage" Kami minum air putih dalam gelas yang dulu berisi impian
[Aku, Tukang Revisi Masa Depan]
Setiap awal bulan, aku buat resolusi: "Tahun ini, harus ada perubahan!" Lalu kulihat dompet—tak ada yang berubah sejak 2016
Kubuat to-do list:
Bangun pagi
Nggak nyerah
Cari jalan
Temukan jalan buntu
Ulangi
Kuberi nama perjuanganku: "Loop of Hope" Tapi Google bilang: "Error 404 - Harapan Tidak Ditemukan"
[Aku, Influencer Anti-Kemajuan]
Followerku setia: rasa cemas, insecure, dan overthinking Mereka like setiap postingan keluh kesahku
Story-ku hanya berisi:
Kopi sachet dan langit mendung
Quotes dari akun palsu dengan nama motivator palsu
Engagement-ku naik drastis saat kubilang: "Lelah jadi kuat, mau jadi lemah aja."
[Aku, Pemimpin Tanpa Kerajaan]
Aku deklarasikan diriku: Presiden Republik Dalam Diri Warga negaranya: aku, dan ego-ku yang terus demo
Konstitusiku: Pasal 1: Segala sesuatu adalah salah diri sendiri Pasal 2: Kalau tidak salah, maka salah tempat lahir
Mata uangnya: harapan tak cair Sumber daya alamnya: mimpi yang ditambang secara ilegal
[Aku, Satir yang Masih Bernyawa]
Aku bukan tokoh tragis Shakespeare Aku hanyalah meme berjalan, dijadikan punchline
Tertawa? Wajib, agar tak ketahuan menangis Bercanda? Strategi, agar hidup tak terlalu jujur
Dan kalau pun aku akhirnya tumbang, Setidaknya aku tumbang dalam gaya— Dengan caption terakhir: "Hidup adalah bahan tertawaan, aku hanya kebetulan jadi tokoh utamanya."
[Refleksi Penutup]
Versi ketiga ini adalah monumen bagi yang merasa gagal, lelah, dan jadi bahan lucu-lucuan sistem. Tapi di balik sarkasme dan parodi, puisi ini menggugat: mengapa ketidakberdayaan kita jadi normal? Sindiran ditujukan pada sistem sosial yang permisif pada ketidakadilan dan publik yang cepat tertawa namun lambat bertindak. Pesannya: ironi adalah senjata, tapi kesadaran tetaplah kunci.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."