Ideologi di Meja Sarapan

jeffriegerry12@gmail.com
0

 


Ideologi di Meja Sarapan

Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Pendek:

Apa yang lebih mendalam daripada semangkuk sereal di pagi hari, ketika dunia pun terbenam dalam kegelapan, sedang kita asyik mengunyah kebenaran yang kita pilih sendiri?


Isi Puisi Satir

Pagi ini, kita duduk bersama
Di meja makan yang telah lama usang,
Di sana, ideologi kita berpesta,
Tercampur dalam secangkir kopi dan roti bakar—
Pahit, dan kadang tak bisa ditelan.

Tuan rumah memulai dengan senyum manis,
Menyajikan politik dengan satu sendok gula,
"Bangunlah, anak muda!
Dunia menantimu dengan janji-janji mulia.
Bergabunglah dalam gerakan besar ini,
Dimana semua orang setara—
Tapi hanya mereka yang berkuasa yang tahu cara berbagi."

Siapa yang butuh martabat
Ketika kita sudah diberi cukup layar kaca?
Kebenaran, kata mereka, hanya perlu
Kebijakan dan slogan—
Bukan pemikiran atau peduli.

Di sebelahku, seorang kapitalis yang terhormat
Memotong bacon dengan angkuh,
"Tidak ada yang gratis di dunia ini," katanya,
"Mari kita perdagangkan moralitas,
Agar rakyat tahu apa yang layak mereka makan."

Di sisi lain, seorang anarkis yang mencintai kebebasan,
Berteriak bahwa dunia harus terbakar
Dan tatanan harus hancur,
Tapi ia masih menunggu roti panggang yang datang terlambat.
"Aku ingin dunia berubah," katanya,
"Sebelum aku mendapat panggilan telepon dari ibuku."

Sementara itu, seorang pejuang keadilan sosial,
Dengan piring penuh buah organik—
Kesejahteraan mereka adalah makanan utama,
Tak peduli jika mereka hanya memberi dukungan lewat postingan Instagram,
Karena tindakan nyata, tentu saja,
Hanya milik yang berduit.

Ah, meja ini memang penuh dengan gagasan,
Namun, tak ada yang benar-benar makan.
Mereka hanya menggenggam alat makan
Dan mengunyah ideologi yang mereka kira benar.
Kami semua punya resep yang sempurna,
Namun tak ada yang tahu bagaimana cara memasaknya.

"Jangan terlalu sibuk berpikir,
Sebab dunia membutuhkan tindakan,
Bukan analisis," kata seorang teknokrat
Yang makan sereal dengan gaya penuh keyakinan.
Aku menatapnya dan berfikir,
Jika semua itu benar,
Mengapa kita masih makan dengan tangan kotor?

Di meja yang sama, seorang filsuf
Mencoba mencerna buah pikiran dalam sepotong apel.
"Kebenaran itu cair," katanya,
"Sama seperti air yang mengalir,
Hanya saja, ada banyak selokan di sepanjang jalan."

Aku melirik pada mereka yang tidak berbicara,
Yang hanya memandangi layar ponsel mereka,
Sambil menyuap makanan dengan penuh keyakinan—
Mereka yang tahu segalanya,
Tapi tak tahu apa-apa.

Di sini, di meja sarapan ini,
Kita makan ideologi seperti sarapan—
Cepat, mudah, dan penuh janji kosong.
Kami semua pemilih yang bijak,
Memilih apa yang kami suka
Dan menolak apa yang tak kami ingin tahu.

Aku mendengar suara tawa,
Tertawa keras, seolah dunia ini penuh
Dengan kegembiraan. Namun, ketawa itu kosong—
Seperti perut kami yang penuh dengan udara
Dan perut rakyat yang kelaparan.

Tuan rumah tiba-tiba bangun dan berkata,
"Semua ini bukan masalah besar,
Kita hanya butuh lebih banyak anggaran.
Lebih banyak kebijakan.
Lebih banyak ‘pemimpin’."

Sementara aku, di sudut meja yang suram,
Merenung, memandangi kebenaran yang terlupakan,
Yang tergeletak di bawah meja
Seperti remah-remah dari diskusi yang tidak pernah selesai.

Di luar, dunia terus berputar—
Menunggu kita untuk mengakhiri
Sarapan pagi yang penuh ideologi ini.
Namun, kita terus duduk,
Mengunyah dan menelan,
Menunggu solusi yang datang terlambat.

Dan semua ini, dalam keheningan yang memekakkan telinga,
Bukan tentang ideologi—
Ini tentang siapa yang memegang garpu.


Ideologi di Meja Sarapan: Revolusi Roti Bakar

Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Pendek:

Di meja sarapan kita merayakan kebohongan,
Kita mengunyah mimpi dan menelan kebijakan—
Sambil tertawa, dunia berubah menjadi lelucon.



Pagi ini, aku duduk di meja
Yang lebih banyak mengunyah dari pada berpikir.
Ideologi kita sudah matang,
Bercampur dengan kopi pahit,
Dan secuil roti bakar yang terjatuh dari meja.

"Bangun, anak muda! Dunia membutuhkanmu!"
Kata seorang pengusaha yang sudah
Lama belajar mendalami "kaum tertindas"
Sambil menggigit sosisnya.
"Mari kita jual semuanya! Hapus kemiskinan!
Asal bisa untung—kan itu yang penting?"

Di sebelah, seorang anarkis,
Membakar roti bakar dengan tangan gemetar,
"Revolusi dimulai dari sini,
Dari perut kita yang lapar,
Dari meja sarapan ini!
Mari kita hancurkan semua sistem!"
Tapi, ia masih menunggu butter datang lebih cepat.

Ah, dunia ini memang indah,
Ketika semuanya dibungkus dalam idealisme manis,
Tapi lihat!—di ujung meja itu,
Seorang pejuang sosial,
Menyantap buah organik sambil
Menyuarakan keadilan yang ada di Instagram.

“Ini semua salah!” teriaknya,
“Tapi ayo, mari kita selfie!”
Sementara dunia terenggut,
Ia masih memeriksa berapa like yang didapat.
Roti bakarnya lebih penting dari suara rakyat.

Di sebelah mereka, seorang intelektual
Berkaca-kaca, memandang sereal dengan serius.
“Kebenaran itu jauh,
Tapi teori kita selalu ada di sini,” katanya,
Mengambil sendok, seperti memotong
Sebuah tirani yang tak tampak.
Namun, tanpa sadar, ia makan dengan tangan kiri.

Sedangkan seorang teknokrat,
Mencampurkan gula ke dalam kopi dengan teliti,
“Politik itu angka,” katanya,
“Sementara idealisme hanyalah statistik.”
Aku hampir muntah,
Tapi itu mungkin hanya sarapan yang terlalu berat.

Di sini, di meja ini,
Kita mengunyah kebohongan yang sudah diproses,
Tanpa sadar, kita sudah jadi bahan makanan
Untuk kapitalisme besar yang sedang tertawa.
Kita berbicara tentang kebebasan,
Sambil menggigit piring dengan penuh keyakinan.

"Kita butuh lebih banyak kebijakan!"
Seru sang politisi, sambil menggulung omelette-nya.
“Agar semua tetap terkendali,
Dan kita bisa terus berbicara tanpa henti."
Namun, semua kata-kata itu menguap,
Seperti asap dari rokok yang terlupakan di sudut meja.

Sementara itu, kita semua—
Mengunyah ideologi yang kita tak pernah tahu
Apa bentuk aslinya.
Tapi tak ada yang peduli,
Karena kita sudah kenyang
Dengan kata-kata yang dibungkus dalam paket-paket cerdas.

Tuan rumah tersenyum lebar,
“Tunggu dulu! Ini belum selesai!”
Ia meracik lagi kebijakan manis,
"Ini untuk kalian yang butuh makan!
Bergabunglah dalam mimpi besar,
Dan ayo makan semua—tanpa peduli siapa yang menderita."

Dan di luar jendela,
Pagi berakhir dengan kengerian yang tak tampak.
Tapi kita semua terus mengunyah—
Sambil berkata, "Semua baik-baik saja,
Selama kita bisa makan dengan nyaman."


Refleksi / Penutup:

Puisi ini adalah sindiran tajam terhadap cara kita, di zaman modern ini, mengkonsumsi ideologi tanpa benar-benar memahami esensinya. Ideologi kita di "meja sarapan" adalah barang dagangan yang kita pilih berdasarkan kenyamanan, bukan kebenaran. Tuan rumah dengan senyum manis mewakili para pemimpin yang menjual janji, sementara mereka yang kita kira berjuang untuk perubahan ternyata hanyalah boneka dalam permainan besar. Kita makan sarapan, tetapi lupa bahwa bukan hanya roti yang perlu kita cermati—melainkan isi yang tersembunyi dalam setiap piring yang kita makan. Apa yang ingin disampaikan adalah sebuah peringatan: kita seringkali terlalu sibuk mengonsumsi ideologi yang sudah diproses oleh orang lain, tanpa benar-benar bertanya apakah itu benar-benar makanan yang kita butuhkan.

Sindiran ini menyasar siapa saja yang lebih mudah percaya pada ilusi ketimbang mencari kebenaran yang sebenarnya, dan menyerukan kepada kita untuk berhenti mengunyah pemikiran orang lain dan mulai mencerna kebenaran dengan cara kita sendiri.

Puisi ini adalah ledakan liar terhadap cara kita mengonsumsi ideologi tanpa pernah mencerna maknanya. Di meja sarapan, kita melahap segala macam retorika tanpa benar-benar memahami isinya, hanya karena itu nyaman dan mudah. Sindiran ini menyasar mereka yang lebih memilih untuk mendengarkan kebohongan yang manis dan memilih kenyamanan semu daripada mencari kebenaran yang lebih pahit. Dalam dunia yang penuh dengan kebijakan dan teori yang indah, kadang kita lupa bahwa sarapan ini—dengan segala janji manisnya—hanya membawa kita ke dalam lingkaran kebohongan yang tak pernah berakhir.


Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)