Monolog Seorang Patriot Tanpa Tanah

jeffriegerry12@gmail.com
0

🖼️ Gambar Ilustratif:
menampilkan wajah ironis dari seorang patriot yang kehilangan makna patriotismenya sendiri.

 Cara Elegan Menjadi Cinta Tanah Air Tanpa Harus Punya Sebidang Tanah pun Tak Punya Udara Bersih


🎭 Pengantar Pendek
"Katanya tanah air, tapi tanahnya diserahkan, airnya dimonopoli. Lalu aku ini mencintai apa, ya Tuhan?"


📜 Isi Puisi Satir

Aku patriot.
Lahir dari pidato-pidato palsu
dan nasi kotak kampanye lima tahunan.

KTP-ku penuh stempel demokrasi,
tapi tanahku diukur oleh investor
dan langitku dibeli penyumbang partai.

Mereka bilang:
“Kau harus cinta tanah air!”
Sambil menyodorkan formulir cicilan KPR
yang bahkan hantu pun malas isi.

Aku patriot.
Berteriak "Merdeka!" di upacara bendera
sambil menandatangani kontrak outsourcing
di atas meja yang dibeli dari hasil korupsi.

Negara ini katanya ibu.
Tapi tak pernah menyusui anak-anak
yang tak lulus seleksi CPNS.
Yang masuk kuliah pakai utang,
dan keluar dengan ijazah yang dipakai alas galon.

Aku patriot.
Pernah ikut demo,
lalu dibayar untuk membubarkannya.
Pernah tulis opini di koran,
besoknya ditelepon "atasan dari langit."

Jadi, sekarang aku berpuisi,
karena satu-satunya ruang bebas
hanya di kepala—itu pun disadap.

Kata dosen Pancasila,
"Patriot itu berkorban untuk bangsa!"
Jadi aku korbankan gajiku
untuk bayar BPJS yang tak bisa dipakai.

Aku cinta negeri ini
seperti aku mencintai mantan yang menikah
dengan caleg dapil dua.
Lucu, sakit, dan penuh kenangan.

Lihat bendera itu!
Merah karena malu,
putih karena pasrah.

Aku menyanyikan lagu kebangsaan
sambil merapikan slip gaji
yang tak cukup beli sepatu buatan lokal
karena harga kulitnya diekspor.

Waktu kecil, aku bercita-cita
jadi tentara—membela negara.
Sekarang aku membela
hak parkir di depan minimarket.

Aku patriot,
tapi negaraku seperti mantan pelit:
banyak janji, minim nafkah.

Katanya negara hukum,
tapi hukum cuma berlaku
untuk yang tak punya pengacara.

Katanya adil,
tapi yang makan sarden di penjara
lebih cepat ditangkap
daripada yang menguras APBN lewat lobi.

Aku bukan anti negara,
aku hanya muak
dengan negara yang mencintai rakyat
hanya saat butuh suara.

Lihat tetanggaku:
cinta tanah air
sampai rela jual tanah
untuk bayar sekolah anaknya
agar bisa kerja di luar negeri.

Lucu kan?
Negeri ini mencetak patriot
untuk ekspor.

Di televisi,
menteri bicara soal “kemandirian pangan”
di sela iklan mi instan
yang bahan bakunya diimpor.

Di kampus,
dosen bilang:
“Kita harus berdikari!”
lalu mengisi daftar hadir pakai aplikasi
yang server-nya ada di luar negeri.

Aku patriot,
tapi sering salah alamat.
Mendaftar program subsidi
malah disuruh upgrade ponsel.
Minta bantuan hukum
malah diminta sumbangan koperasi.

Kalau tak punya tanah,
lalu aku mencintai apa?
Langit penuh satelit swasta?
Laut penuh kapal asing?
Gunung penuh izin tambang?

Kuhirup udara
yang katanya gratis,
tapi penuh karbon dari mobil pejabat
yang tak pernah macet.

Katanya: “Jangan merusak bangsa!”
Tapi bangsaku sudah lama
dirusak dari dalam
oleh mereka yang pakai pin merah-putih
di dada kosong.

Aku patriot.
Tapi cinta tanah airku kini
hanya hidup di puisi,
karena tanahnya dijual
dan airnya dibotolkan.


Lanjutan Puisi: Monolog Seorang Patriot Tanpa Tanah (Bagian II)

Aku pernah mencintai tanah ini
sampai diusir dari rumah kontrakan
karena pemiliknya butuh bayar utang
yang disebabkan inflasi
akibat kebijakan yang ditandatangani
oleh orang-orang berseragam jas
yang tak pernah antre beli gas.

Mereka bilang:
“Anak muda jangan apatis!”
Tapi ketika kubuka mulut
mereka suruh aku update CV.
Katanya, idealisme boleh,
tapi realistis dulu, nak—
kerja di pabrik dulu,
nanti kau ngerti sendiri.

Aku mulai mengerti:
Patriotisme hanya berlaku
kalau kau diam-diam jadi buzzer
atau buka warung kopi
yang poster-poster temboknya
isi quote pahlawan,
tapi gaji karyawan di bawah UMR.

Aku patriot—
yang dilarang miskin
tapi juga dilarang kaya.
Miskin disalahkan,
kaya dicurigai.

Di televisi:
aku lihat para elite
berdebat soal harga beras
di studio ber-AC
sambil nyeruput kopi import
dan pakai kemeja seharga dua kali gajiku.

Katanya, demokrasi adalah suara rakyat.
Tapi aku berteriak:
airku diambil,
tanahku dibor,
tubuhku digusur.
Mereka jawab:
“Kita sudah dengar kamu.
Tapi kita punya rencana lima tahunan.”

Negaraku pintar.
Menyulap janji jadi jargon.
Mengubah utang jadi investasi.
Dan membuat luka jadi statistik.

Aku lihat koridor gedung tinggi
yang diisi anak-anak muda
ber-ID card
dengan jargon nasionalis di bio,
tapi isi otaknya:
bagaimana naik jabatan
tanpa lewat pemikiran.

Patriot itu katanya
yang pasang bendera tiap 17-an.
Tapi bagaimana kalau aku tak punya tembok?
Apakah aku tak cinta negara?
Atau justru negara yang tak cinta padaku?

Dulu aku menulis esai
tentang makna kemerdekaan.
Kini aku menulis invoice,
karena revisi proyek
lebih dihargai daripada ide.

Aku menyaksikan upacara
dari belakang pagar
tempat mantan buruh pabrik
mengasuh cucu yang ditinggal TKW.

Kau tahu ironi itu apa?
Ironi adalah ketika negara
merayakan kebudayaan lokal
dengan izin tambang di atas situs purbakala.

Ironi adalah ketika
anak desa ikut lomba puisi
dengan tema "cinta negeri",
tapi ayahnya dikejar debt collector
karena gagal bayar pupuk subsidi
yang telat turun 4 bulan.

Aku patriot,
yang disuruh bangga
dengan destinasi wisata
yang dulunya hutan adat
tempat kakekku menanam doa.

Aku patriot,
yang dilarang pesimis,
tapi tak pernah diberi peluang.
Katanya: “Bersabar, semuanya proses.”
Tapi di balik layar,
proses itu dipercepat
dengan tanda tangan dari geng golf hari Sabtu.

Negaraku punya banyak puisi
tapi miskin isi.
Punya banyak slogan
tapi kehilangan makna.
“Kerja, kerja, kerja!”
tapi tak pernah tanya:
untuk siapa hasilnya?

Pernah kutulis di status:
“Indonesia tanah air beta.”
Langsung aku dikomentari:
“Jangan provokatif.”
Lucu, bukan?
Mencintai negeri sendiri
kini jadi aktivitas yang diawasi.

Aku patriot,
yang menyaksikan teman-temanku
diadu seperti ayam sabung—
mereka saling serang,
sementara pemilik kandang
menikmati hasil taruhan.

Di kampungku,
ibu-ibu pakai daster
tahu siapa caleg paling dermawan
karena bagi minyak goreng
sebelum pemilu.

Patriotisme kini dijual
di rak swalayan dalam bentuk totebag
dan quote Instagram
yang di-tag ke akun kementerian.

Mereka bilang:
“Ayo kita cintai budaya!”
Lalu kampung adat
dijadikan latar sinetron,
dan rumah leluhur
disulap jadi villa.

Aku tertawa.
Tapi tawaku getir,
karena aku hanya bisa menonton
nasib bangsa ini
seperti sinetron tanpa naskah
yang disutradarai oligarki.

Aku mencintai Indonesia
dengan segala naif dan sabarku.
Tapi setiap hari aku merasa
sedikit demi sedikit:
negaraku mencintaiku lebih sedikit.

Aku patriot.
Tak punya tanah,
tak punya kuasa.
Hanya puisi ini,
dan doa yang dicicil pelan-pelan
agar esok masih bisa percaya
bahwa tanah air bukan hanya milik mereka
yang punya sertifikat dan koneksi.


🔍 Refleksi / Penutup

Puisi ini adalah jeritan ironis seorang warga biasa—yang masih mencintai negaranya meski tidak pernah benar-benar merasa dimiliki olehnya. Satir ini menyasar pada absurditas birokrasi, ketimpangan ekonomi, dan retorika nasionalisme kosong yang dijajakan oleh elit tanpa empati. Pesan moralnya sederhana namun tajam: cinta tanah air seharusnya bukan tentang hafalan slogan, melainkan tentang keadilan, kepemilikan, dan keberpihakan nyata pada rakyat yang terpinggirkan. Jika patriotisme hanyalah simbol tanpa substansi, maka ia tak lebih dari badut dalam parade palsu kebangsaan.

Puisi satir ini membongkar paradoks cinta tanah air dari perspektif rakyat biasa yang kehilangan akses terhadap tanah, pendidikan, ekonomi, dan keadilan. "Patriot" dalam puisi ini bukan lagi sosok heroik berseragam, tetapi warga biasa yang terus bertanya: untuk siapa negara ini dibangun?

Sindiran diarahkan pada sistem kekuasaan, birokrasi yang absurd, dan nasionalisme palsu yang dijual seperti komoditas. Puisi ini mengajak pembaca untuk menggugat ulang makna patriotisme—bukan sebagai simbol, tapi sebagai kenyataan hidup yang seharusnya adil dan setara.

Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)