🧨 Judul:
"Kampanye: Dongeng Tiga Periode dan Janji Superhero Berjas"
✍️ Pengantar:
“Di negeri kami, kampanye bukan soal masa depan, tapi kompetisi siapa paling mahir berdongeng sambil senyum lebar di atas panggung.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🎭 Puisi Satir Monolog
Halo rakyat jelata yang terhormat,
aku datang dengan baliho dan senyum paling hemat.
Lihat wajahku di perempatan jalan,
lebih sering dari ibu sendiri di dapur belakang.
Jangan tanya aku siapa sebenarnya,
cukup hafalkan sloganku yang katanya penuh makna:
“Bersama Saya, Masa Depan Cerah!”
—padahal masa lalu saja belum kubereskan.
Aku adalah calon pemimpin dari Partai Paling Pancasilais,
yang dulunya anti korupsi, sekarang anti tanggung jawab.
Bersama tim sukses berseragam putih,
aku bawa nasi bungkus dan foto bareng nenek-nenek agar tampak merakyat.
Kemarin aku bilang “turunkan harga”,
hari ini aku beli rumah dinas baru dan pesawat pribadi.
Kemarin aku janji tidak politik identitas,
hari ini aku joget pakai sarung sambil baca ayat-ayat suci.
Rakyat suka hiburan,
maka aku bukan orasi, aku stand-up comedy berjilid-jilid.
Isi kampanyeku?
—Lebih banyak efek visual daripada substansi.
Bahkan Netflix kalah tayang.
Aku sapa petani,
walau tanganku cuma pernah pegang cangkul pas syuting konten.
Aku peluk bayi,
walau anak sendiri kulupa hari ulang tahunnya.
Aku naik ojek dan becak,
hanya untuk 12 detik footage yang akan diputar 12 ribu kali.
Ah, lihat wajahku di layar LED segede dosa,
dengan filter yang menyamarkan noda sejarah.
Yang dulu dipecat karena skandal,
kini disebut pejuang demokrasi.
Yang dulu bisu saat rakyat dibantai,
kini bicara HAM sambil tersenyum seperti malaikat buangan.
Program kerjaku sederhana:
—Apa yang kamu ingin dengar, itulah yang akan aku katakan.
Kamu ingin gratis pendidikan? SAYA SETUJU.
Kamu ingin subsidi BBM? SAYA AKAN NAIKKAN DULU LALU TURUNKAN KEMBALI.
Kamu ingin lapangan kerja?
Tentu, akan kubuka… outsourcing tanpa upah lembur.
Aku berjanji tanpa batas.
Aku tahu kalian tak akan ingat.
Aku akan tampil di debat seperti bintang film laga,
dengan teks yang sudah ditulis oleh konsultan bayaran dari negeri antah-berantah.
Lawan politikku?
Kami satu alumni: Sekolah Akting Kebangsaan.
Kami berbeda logo, tapi satu warung.
Di atas panggung saling hina, di belakang panggung saling peluk.
Drama politik level Hollywood,
dengan soundtrack: “Lagu Nasionalisme dengan Nada Auto-Tune.”
Kampanye ini bukan soal ide,
tapi soal siapa paling banyak endorse.
Influencerku lebih banyak dari buku yang pernah kubaca.
Dan buzzerku tak pernah tidur,
karena dibayar per karakter dan per hoaks.
Aku tak perlu jadi pintar,
cukup punya modal untuk sewa konsultan pencitraan.
Cukup bayar lembaga survei,
agar elektabilitasku naik meski kualitasku turun.
Kampanye bagiku bukan jalan juang,
tapi kontes kecantikan bagi penipu.
Panggung politik bukan ruang diskusi,
tapi teater absurd tempat logika dikubur hidup-hidup.
Lihatlah, rakyat bersorak melihatku melambai.
Padahal aku datang bukan membawa solusi,
tapi kupon doorprize dan janji tol gratis.
Mereka anggap aku pahlawan,
padahal aku sekadar sales yang jago bicara dan lupa kerja.
Kisah nyata?
Itu terlalu pahit.
Lebih baik cerita fantasi:
tentang negeri makmur di bawah komando mantan mafia.
Tentang sistem transparan yang dikelola oleh mantan tersangka.
Tentang anak muda bersih yang ternyata anak konglomerat.
Aku tahu kalian butuh harapan,
dan aku jual harapan seperti MLM.
Setiap janji adalah investasi,
dengan return nihil tapi kemasan mewah.
Maka aku akan kampanye di desa sambil menangis,
bukan karena sedih, tapi karena mata kena debu drone dokumentasi.
Aku akan peluk nelayan,
walau aku lebih sering bersantai di yacht hibah sponsor.
Ah, kalian masih percaya kampanye itu suci?
Itu karena kalian belum lihat brankas tim pemenangan.
Uang jalan, uang media, uang polling, uang saku saksi, uang logistik,
semuanya berseragam nasionalisme.
Rakyat?
Cukup dijadikan background saat live Instagram.
Cukup diajak selfie saat turun ke pasar.
Cukup dibohongi,
asal tetap datang ke TPS dan mencoblos wajahku yang penuh pencitraan.
Aku adalah hasil dari sistem yang kalian diamkan.
Kampanye ini bukan tentang memilih pemimpin terbaik,
tapi menghindari yang paling buruk.
Pilihlah aku,
karena yang lain lebih parah—begitu narasi yang kubayar agar viral.
Lalu setelah aku menang,
aku akan lupa janji,
lupa relawan,
lupa rakyat,
lupa siapa yang angkat aku dari kubangan elektabilitas rendah.
Karena bagiku,
kampanye hanyalah lakon:
aku bicara soal perubahan,
lalu hidup dalam kemewahan lama.
Aku bicara soal antikorupsi,
lalu diam di kursi saat proyek siluman lewat di meja.
Dan kalian pun tak berubah.
Masih percaya baliho, bukan rekam jejak.
Masih kagum pada orasi, bukan integritas.
Masih pilih berdasarkan lagu jingle, bukan visi.
Masih bangga diberi kaus dan amplop,
lalu lima tahun meratap dan mengutuk nasib.
Jadi, mari kita lanjutkan dongeng ini.
Mari kita tepuk tangan saat aku menangis palsu.
Mari kita angguk saat aku berbohong dengan senyum ramah.
Mari kita rayakan demokrasi penuh absurditas ini,
sebagai pesta lima tahunan untuk mengubur akal sehat bersama-sama.
🔍 Refleksi / Penutup
Monolog ini menelanjangi kampanye politik sebagai panggung penuh sandiwara, di mana janji lebih penting dari rekam jejak, dan gaya lebih utama daripada isi. Sindiran ini menyasar para politisi pencitraan, partai tanpa ideologi, dan rakyat yang masih mudah dibeli oleh gimik dan nasi kotak. Pesannya jelas: demokrasi bukanlah panggung sinetron, dan masa depan tidak bisa dibangun dari kebohongan yang diulang-ulang. Jika kita ingin perubahan, kita harus mulai berhenti tertawa pada lelucon busuk yang terus diperankan.
Judul: Kampanye: Panggung Boneka dan Janji yang Tak Pernah Bernyawa
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar
Di negeri ini, kampanye adalah opera sabun paling mahal,
penuh aktor berbaju rakyat, dengan naskah dari kantong para donor.
Puisi Satir Monolog
Aku berdiri di tengah alun-alun kampanye,
di antara tenda plastik, spanduk retorik,
dan nasi bungkus rasa janji kosong.
Aku mendengar sorak-sorai,
tapi bukan karena harapan,
melainkan karena panggung dangdut dan kaos gratis.
Mereka datang, katanya ingin perubahan.
Tapi aku tahu: yang berubah cuma warna baliho.
Wajahnya tetap itu-itu juga.
Pensiunan janji yang sudah basi
dibungkus jargon “harapan baru”.
Katanya ingin mendengar suara rakyat.
Tapi mikrofon hanya untuk yang bersuara palsu.
Yang protes disuruh diam,
yang kritis dituduh pengacau,
yang bertanya dibilang tak sopan.
Aku pernah lihat dia kampanye naik sepeda,
padahal mobil Alphard-nya nunggu di belakang panggung.
Dia pakai baju kotak-kotak,
meniru rakyat,
tapi tangannya gemetar saat harus salaman dengan buruh.
Dia bilang akan memerangi korupsi.
Tapi uang sakunya disuplai oleh pengusaha tambang
yang merusak sungai tempat anak-anakku mandi.
Dia bilang pendidikan gratis.
Tapi setiap pagi aku bayar parkir di sekolah negeri.
Dia bilang kesehatan untuk semua.
Tapi ibuku mati di lorong rumah sakit
karena tak mampu beli nomor antrean.
Kampanye ini bukan janji.
Ini pesta penipuan massal.
Ini panggung boneka:
yang bergerak bukan mulutnya, tapi tali dari sponsor.
Boleh kau lempar aku dengan stiker dan kalender,
tapi jangan paksa aku percaya.
Karena aku sudah disogok terlalu lama
dengan gula-gula retorika yang bikin diabetes logika.
"Rakyat nomor satu," katanya.
Tapi aku tak pernah dapat akses jalan desa.
"Untuk keadilan," katanya.
Tapi hukum hanya tajam ke bawah,
dan tumpul saat berhadapan dengan pemilik suara terbanyak: uang.
Kampanye itu bukan debat ide,
melainkan lomba make-up moral.
Siapa yang bisa terlihat paling merakyat,
walau tak pernah cium bau pasar.
Mereka sewa tim buzzer, bukan guru.
Mereka beli follower, bukan pemahaman.
Mereka beli influencer, bukan kepercayaan.
Mereka isi panggung dengan janji,
sementara isi rekening mereka sudah penuh sebelum menang.
Ada yang janji membuat 10 juta lapangan kerja.
Tapi bahkan sopir keluarganya pun masih honorer.
Ada yang bersumpah menolak dinasti,
tapi keluarganya semua maju—dari camat sampai calon presiden.
Kampanye bukan lagi soal visi,
tapi soal siapa yang bisa lebih licin berdusta.
Ini bukan kompetisi ide,
tapi adu kreatif mencuci reputasi.
Mereka naik truk terbuka,
membagi sembako,
seperti Tuhan palsu yang datang dengan kantong plastik,
mengira rakyat bisa disuap dengan mie instan dan kalender.
Aku tanya:
Kenapa janji selalu indah saat kampanye,
tapi pahit saat berkuasa?
Kenapa senyum manis waktu minta suara,
tapi pahit seperti kopi basi saat ditagih realisasi?
Karena kampanye itu bukan jembatan kebenaran,
tapi panggung ilusi.
Karena rakyat dianggap penonton,
bukan pemilik panggung.
Aku lihat baliho dengan slogan:
"Bersih, Merakyat, Visioner."
Padahal fotonya diedit 7 lapis,
dan jejak kasusnya lebih banyak dari jumlah sekolah rusak di kampungku.
Aku lihat relawan disuruh bayar sendiri bendera,
sementara calon jalan-jalan ke luar negeri
pakai dana ‘konsolidasi’.
Sistem ini busuk dari akar sampai batang.
Tapi kita disuruh tetap memilih.
Katanya: kalau tak memilih, kau tak punya hak bersuara.
Tapi kalau memilih,
aku cuma memperpanjang kontrak penipu.
Jangan tanya kenapa aku apatis.
Aku bukan apatis. Aku sadar.
Dan sadar di negeri ini kadang lebih menyakitkan
daripada jadi bodoh yang terus disuapi harapan.
Aku ingin kampanye yang jujur,
tapi sistem sudah lama menjual kejujuran kepada sponsor.
Aku ingin pemimpin sejati,
tapi semua daftar calon hanya sisa-sisa panggung lama
yang pernah berbohong, tapi sekarang pakai baju warna baru.
Warna-warni kampanye bukan pelangi,
itu kamuflase luka-luka bangsa
yang belum sempat sembuh
tapi sudah ditutupi jargon nasionalisme palsu.
Ada yang bagi-bagi uang,
lalu bilang, “Ini bukan politik uang, ini sedekah.”
Ada yang pakai artis,
lalu bilang, “Ini cara mendekat ke generasi muda.”
Padahal semua hanya cara mempertebal pengaruh
tanpa memperdalam pemahaman.
Kampanye di negeri ini
adalah sirkus demokrasi tanpa badut jujur.
Karena semua badut sudah dipekerjakan
untuk menghibur rakyat sambil menutup fakta.
Dan kita?
Masih tepuk tangan.
Masih selfie dengan calon.
Masih percaya bahwa 5 tahun ke depan
bisa berubah karena selembar suara.
Padahal suara kita bukan alat ubah,
tapi sekadar alat sah untuk kejahatan yang direncanakan.
Mereka bilang:
"Ini pesta demokrasi."
Tapi yang berpesta hanya mereka.
Kami hanya penonton lapar,
yang pulang dengan perut kosong dan kepala penuh kebingungan.
Aku ingin tanya satu hal:
Kenapa dalam kampanye semua bisa jadi malaikat,
tapi setelah menang semua berubah jadi monster?
Karena di negeri ini, kampanye bukan janji,
tapi lakon sandiwara.
Bukan perjanjian suci,
tapi transaksi jangka pendek
yang ditukar dengan suara dan dilupakan setelah hari H.
Refleksi / Penutup
Puisi ini adalah teriakan dari balik panggung demokrasi palsu. Sindiran ini menyasar sistem kampanye yang menjadikan rakyat sebagai alat, bukan subjek utama. Pesan moralnya jelas: jangan mudah terpesona oleh spanduk, slogan, dan sembako. Sadarilah bahwa perubahan sejati tidak datang dari panggung yang dibangun di atas kebohongan, tapi dari rakyat yang berani berhenti menjadi boneka dan mulai menuntut pertunjukan yang jujur.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."