🧨 Judul: "Kampanye Terakhir Si Raja Baliho"
(Monolog Seorang Caleg Gagal yang Tak Sempat Menjadi Legenda Jalanan)
Pengantar:
“Katanya suara rakyat adalah suara Tuhan—
Tapi mengapa suara saya kalah oleh amplop Tuhan yang salah alamat?”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Isi Puisi Satir (Monolog Caleg Gagal)
I
Hai, rakyat jelata yang dulu kupanggil “keluarga besar,”
Kini kalian berubah jadi angka dalam rekap suara yang getir.
Dulu kuajak selfie di bawah baliho bersinar,
Kini aku selfie sendiri di warung, pakai kopi tanpa gula—murah.
Aku, mantan harapan palsu berbadan jumbo,
Mantan mimpi demokrasi yang dibeli grosiran.
Dulu kalian panggil aku “Pak Wakil Masa Depan,”
Kini? Aku “Si Paling Banyak Janji, Paling Sedikit Like di TPS.”
II
Ah, masa kampanye—panggung stand-up komedi bersubsidi,
Aku belajar senyum seperti aktor sinetron yang gagal audisi.
Tanganku terbuka lebar: bukan untuk memberi,
Tapi karena dompetku tak punya ritsleting lagi.
Kupeluk bayi-bayi yang kubenci baunya,
Kubagi sembako seperti Santa tanpa iman—demi polling.
Satu kilo beras untuk lima tahun mengais janji,
Dan aku kalah… oleh caleg sebelah yang nyogok lebih dini.
III
Lalu aku pun duduk di ruang tamu sepi,
Menatap TV yang mewartakan kemenangan lawanku—
Oh, dia yang pintar bersilaturahmi dengan kepala desa dan kepala amplop.
Dia yang tak bisa debat, tapi bisa transfer.
Duhai rakyatku, kalian jahat!
Aku sudah kirim brosur, stiker, bahkan sabun cuci—
Tapi kalian mencuci ingatan kalian tentang aku.
Kalian buang visiku ke tempat sampah,
Dan memilih dia yang “lebih tebal dana, lebih tipis malu.”
IV
Di TPS, Tuhan pun tak bersuara.
Doaku digantikan oleh lembar uang receh dan mie instan.
Katanya aku arogan,
Padahal aku cuma malas senyum karena bibirku mahal.
Mereka bilang aku tak menyapa saat lebaran,
Maaf, waktu itu aku sibuk menyapa elite partai.
Mereka bilang aku kurang “turun ke bawah,”
Hei! Aku turun sampai ke harga diri paling dasar,
Kubeli cinta kalian dengan janji palsu yang kutulis sendiri!
V
Kini, di depan kaca, aku menatap wajah calon legenda yang gagal.
Kampanye ini mengubahku:
Dari manusia, jadi karikatur ambisi,
Dari calon legislatif, jadi pasien psikolog dengan diagnosis:
Delusi Demokratis Akut.
Aku mimpi jadi penyambung lidah rakyat,
Ternyata hanya jadi penyambung listrik panggung dangdut.
Kuhabiskan ratusan juta bukan untuk kemajuan daerah,
Tapi untuk memajukan namaku dalam banner 3x6.
VI
Kalian tahu?
Aku bahkan ikut lomba joget emak-emak,
Main voli dengan bapak-bapak tanpa skill,
Bahkan nyanyi dangdut dengan suara sekelas batuk TBC.
Apa lagi yang kalian mau?
Berendam di empang demi “dekat dengan rakyat”?
Sudah! Tapi tetap kalah.
Ternyata empang pun tak bisa membersihkan reputasi.
VII
Ketika aku melamar partai,
Mereka tanya, “Punya uang berapa?”
Bukan, bukan tanya visi atau integritas.
Aku jawab jujur: “Cukup untuk dua billboard dan satu konser dangdut.”
Mereka langsung senyum: “Kamu calon ideal!”
Dan kini, mereka bahkan tak angkat teleponku.
VIII
Ah, politik… panggung sandiwara tanpa sutradara.
Semua aktor merangkap penonton,
Semua bohong berbungkus janji manis:
Kurikulum baru untuk mulut manis tapi hati manis palsu.
Dulu aku bermimpi jadi penentu nasib rakyat,
Sekarang aku ditentukan oleh rakyat yang ditentukan oleh mie instan.
Apa kabar idealisme?
Ia mati di tumpukan proposal yang kutulis tapi tak kubaca.
IX
Anak-anakku bertanya:
“Ayah, kenapa fotomu dicoret di TPS?”
Kujawab sambil tersenyum pahit:
“Itu seni demokrasi, Nak. Rakyat melukis pakai paku.”
Kata istri, “Sudahlah, itu bukan rezekimu.”
Tapi aku tahu, rezeki itu datang lewat mobil box bertuliskan partai,
Bukan lewat niat suci membangun desa,
Tapi lewat “lobby sore hari di hotel berbintang tiga.”
X
Kini aku pensiun dari dunia yang tak pernah menerima kejujuran,
Aku kembali ke usaha toko kelontong,
Menjual sabun, kopi, dan sedikit trauma demokrasi.
Kadang aku tertawa sendiri,
Teringat saat berpidato soal transparansi…
Padahal kostumku disediakan sponsor kosmetik politik.
XI
Rakyat tak butuh pemimpin,
Mereka butuh hiburan yang bisa bagi sembako.
Mereka tak butuh peraturan,
Mereka butuh renovasi masjid dan lapangan futsal.
Mereka tak peduli soal undang-undang,
Asal dapur tetap ngebul, mereka rela suara dijual.
XII
Aku masih ingat janjiku:
Gratis pendidikan, internet masuk desa,
Revitalisasi pasar, subsidi petani.
Tapi Tuhan tahu,
Aku bahkan tak tahu beda antara bibit dan benih.
Kini aku berdoa bukan untuk menang,
Tapi agar KPK tak mendadak menanyakan kuitansi.
Karena kalah pun bisa curiga,
Apalagi kalau laporan dana kampanye “belum sinkron.”
XIII
Oh, wahai sistem,
Kau biarkan orang jujur keok,
Dan yang pintar akting tertawa di senayan.
Kau hias demokrasi dengan pesta pora,
Tapi lupa sisipkan makna di dalamnya.
Refleksi / Penutup
Dalam monolog ini, aku bukan hanya menyuarakan kekecewaan pribadi,
Tapi juga menggambarkan wajah demokrasi yang penuh topeng dan transaksi.
Sindiran ini bukan hanya untuk para caleg,
Tapi untuk seluruh rakyat dan sistem yang membiarkan jual beli suara jadi norma.
Politik bukan panggung suci—ia pasar malam.
Dan kadang, yang paling jujur justru paling tidak laku.
Karena dalam dunia yang menjual janji,
Kebenaran hanyalah dagangan basi.
Salam dari eks-Caleg, yang kini menjual mie instan—bukan suara.
— Jeffrie Gerry (Japra)
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."