📛 Judul: "Museum Masa Depan: Tempat Budaya Disuapi Cache & Cookie"
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
"Budaya dulunya diwariskan lewat darah dan air mata—sekarang lewat notifikasi push dan algoritma rekomendasi."
[Puisi Satir Monolog Buas: Budaya Dijaga oleh Algoritma]
Selamat datang di pameran digital,
di mana nenek moyang kita disimpan dalam cloud,
dan warisan leluhur
dijaga oleh keamanan dua lapis:
captcha & firewall.
Tak perlu lagi keturunan,
cukup koneksi cepat dan password yang kuat.
Oh budaya!
Kau bukan lagi hasil pergulatan jiwa,
tapi hasil kurasi harian dari server pusat.
Algoritma yang suci, tak terbantahkan,
telah mengambil alih fungsi kakek buyut kita.
Aku ini generasi Ctrl+C, Ctrl+V
anak sulung Google,
cucu bungsu TikTok,
dibesarkan dengan dongeng 15 detik
dan hikayat versi filter dog-face.
Tak usah ajari aku aksara nenek moyang,
aku bisa translate semuanya.
Menghormati budaya?
Mudah. Cukup klik "like",
beri komentar: "So deep!"
dan pindah ke video berikutnya.
Konser wayang sekarang dibintangi
oleh avatar 3D dan efek ledakan.
Dalang pensiun, digantikan bot,
yang bisa cerita Ramayana sambil beatbox
dan interaktif via polling.
Keris dipajang di NFT,
batik dijadikan skin di game perang,
tari tradisional—
kini viral karena gerakan itu mirip emoji joget.
Begitu kita melestarikan budaya:
menjadi meme,
disponsori skincare,
dan diberi tagline “Authentic Vibes Only”.
Jangan khawatir,
kita tidak akan kehilangan budaya.
Kita sudah meng-backup-nya.
Ada di drive,
bersanding dengan selfie,
invoice pinjol, dan folder “rahasia”.
Pernah dengar nama Pitung?
Sekarang dia jadi karakter Mobile Legends—
punya skin “Pejuang Urban Betawi”.
Sungguh, upgrade yang layak!
Daripada jadi legenda sepi,
lebih baik jadi hero tier S,
rame terus tiap update patch.
Aku bertanya pada algoritma:
“Siapa aku?”
Dia jawab: “Berdasarkan histori pencarianmu,
kamu spiritual tapi impulsif,
dan suka diskon flash sale budaya lokal.”
Aku terharu.
Sungguh dalam dan personal.
Lebih jujur dari guru sejarahku
yang ngantuk saat menjelaskan peristiwa penting
dan hanya semangat kalau sudah jam istirahat.
Selamat tinggal museum penuh debu,
kini budaya hidup di timeline.
Masa lalu jadi hiburan,
masa kini jadi statistik,
masa depan?
Terserah trending topic.
Jangan salah sangka,
kita masih menjaga budaya!
Tiap tanggal merah,
kita upload foto baju adat,
beri caption:
“Bangga jadi anak bangsa!”
Lalu lanjut karaoke dengan lagu K-pop
pakai mikrofon buatan China,
dalam rumah berarsitektur Skandinavia,
ditemani kopi dari capsule Italia.
Nasionalisme 5G.
Berakar, tapi bisa roaming.
Budaya telah dipersonifikasi:
dia bukan ibu tua bijak,
tapi selebgram centil
yang senyum setiap endorsement.
Yang penting estetika.
Nilai bisa direvisi.
Identitas? Fleksibel, bisa di-swipe.
O, wahai para leluhur,
lihatlah kami dari nirwana digitalmu,
kami menari di atas candi
dengan drone,
menyanyikan lagu daerah
pakai autotune,
dan berziarah budaya
lewat kode promo “HERITAGE2025”.
Jangan marah,
kami hanya menyesuaikan.
Zaman berubah,
dan kami tahu apa itu adaptasi:
ikut tren sebelum basi.
Ironisnya,
semua rekaman budaya itu kini dijaga
oleh algoritma netral—
yang sebenarnya tak tahu perbedaan
antara reog ponorogo
dan kucing naik becak.
Asal banyak klik,
semuanya setara.
Semua bisa naik,
asal engagement tinggi.
Jadi jangan heran,
kalau pada Hari Kartini,
yang trending justru resep kue cubit
dengan warna bendera pelangi.
Atau kalau Hari Kemerdekaan,
netizen lebih heboh merayakan
#DiskonKemerdekaan
daripada semangat perjuangan.
Paradoksnya indah:
Kita takut budaya punah,
tapi enggan repot menjaganya.
Kita ingin diwarisi,
tapi tak mau mewarisi.
Kita hormat pada masa lalu,
asal bisa diedit pakai filter nostalgia,
dan cocok diunggah ke story berdurasi 24 jam.
O, budaya,
kau dulu sakral,
kini sekuler dalam bentuk konten.
Kau dulu hasil kontemplasi,
kini hasil collab bareng influencer.
Kau dulu digali, dipelajari,
kini cukup dikurasi oleh algoritma
yang lebih tahu selera pasar
daripada isi hatimu.
Budaya jadi barang display,
tapi jangan disentuh.
Kita puja,
asal tidak mengganggu jadwal gym
atau konten skincare rutin.
Sastra jadi caption,
puisi jadi reels,
filsafat jadi thread viral
yang habis dibaca dalam dua menit,
lalu dilupakan seperti janji kampanye.
Kita adalah generasi digital
yang punya banyak memori,
tapi tak punya ingatan.
Yang punya semua arsip,
tapi tak tahu makna.
Yang memuja keaslian,
asal tampilannya aesthetic dan monetizable.
📌
Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah surat cinta yang getir,
kepada generasi yang mewarisi budaya
tapi menyerahkannya kepada mesin.
Sindiran ini untuk kita semua—
yang lebih percaya algoritma
daripada ajaran nenek moyang.
Nilainya sederhana:
Budaya bukan barang pameran.
Ia harus hidup—dijalani, bukan hanya diposting.
Budaya tidak dijaga oleh teknologi,
tapi oleh kesadaran:
bahwa kita tidak bisa membeli warisan
dengan kuota unlimited.
Budaya itu darah.
Bukan data.
📛 Judul: “Like, Share, Lestarikan! – Budaya di Tangan Tuhan Bernama Algoritma”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
"Zaman dulu budaya diwariskan lewat nyanyian dan luka, sekarang cukup pakai Wi-Fi dan storage cloud 256GB."
[Puisi Satir Monolog Liar: Budaya Dijaga oleh Algoritma]
Aku bangga menjadi manusia versi beta.
Dilahirkan oleh naskah kuno
tapi dibesarkan di feed yang tak pernah tidur.
Aku adalah keturunan para penyair agung—
yang kini menjual puisi dalam bentuk template story IG.
Warisan budaya?
Tenang. Sudah saya simpan dalam folder "Nostalgia Lokal, Part 1".
Ada backup-nya di Dropbox.
Dulu manusia membaca prasasti.
Sekarang cukup baca komentar netizen.
Lebih jujur, katanya.
Lebih brutal, lebih asli—lebih tak tahu malu.
Budaya?
Dulu dipahat di batu.
Sekarang diketik pakai font lucu
di aplikasi Canva Pro.
Aku berbicara pada bayanganku sendiri—
"Hai, apa kabar budaya?"
Dia menjawab sambil scrolling:
"Masih trending di TikTok,
tapi algoritma mulai drop engagement-nya."
Lalu ia menangis,
tapi bukan air mata yang keluar—
melainkan ads pop-up berjudul
"Warisan Budaya Lokal: Beli 1 Gratis NFT".
Mari rayakan tradisi!
Tapi tunggu,
mana yang lebih baik untuk engagement:
foto baju adat atau video menari sambil lip-sync lagu Jepang?
Hmm, kita kombinasi saja.
Biar dapat reach lokal & global.
Kombinasi antara tarian Dayak dan efek glitch cyberpunk.
Lelucon? Ini bukan lelucon.
Inilah kenyataan paling kocak yang pernah ada:
budaya kita,
yang dulu diperjuangkan dengan parang dan doa,
kini dipopulerkan oleh bot Korea Selatan
bernama "@BudayaUnik_ID".
Aku pernah ikut festival budaya.
Serius!
Diadakan di mal,
diapit oleh tenant bubble tea
dan booth skincare.
Panggungnya kecil,
tapi sponsornya besar:
bank digital dan e-commerce luar negeri.
Lalu di panggung itu,
seorang anak muda berdiri dengan anggun.
Memakai baju adat Papua.
Sambil membacakan puisi tentang perjuangan tanah leluhur,
dengan backsound remix DJ berjudul “Tribal Bass 2025”.
Jangan cemas.
Kita sudah aman.
Budaya kita
sudah dipatenkan sebagai aset digital.
Dicatat dalam blockchain,
dibungkus dalam lisensi
dan dijaga oleh AI bersertifikasi Google.
Dulu dukun jaga kampung.
Sekarang developer jaga file budaya.
Dulu nenek menyanyikan tembang sebelum tidur.
Sekarang Alexa yang nyanyi,
pakai aksen yang bisa diatur.
Kau tahu siapa penjaga kebudayaan hari ini?
Bukan guru, bukan pujangga.
Tapi algoritma rekomendasi.
Ia tahu kapan kita suka sejarah,
kapan kita bosan,
dan kapan kita butuh distract dengan video kucing.
Dia yang menentukan
mana yang disebut warisan,
mana yang disebut cringe.
Tari Saman?
Pernah viral.
Tapi kalah cepat dengan challenge joget ular.
Lagu keroncong?
Kalah oleh remix TikTok berjudul
"Bule Goyang Gamelan - DJ Santuy Slow Vibe".
Aku pernah melihat sekelompok pemuda berdiskusi.
"Budaya itu penting," kata yang satu.
"Yup," jawab yang lain,
"makanya gue bikin konten edukatif:
10 Tradisi Nusantara yang Bikin Lo Ngelus Dada!"
Dia pakai thumbnail cewek seksi pakai baju adat.
Dalam deskripsi:
“LIKE dan SUBSCRIBE untuk lestarikan budaya kita!”
Lucu ya?
Lucu banget.
Sampai-sampai aku ingin ketawa
dengan tawa yang tak bisa disensor.
Tawa panjang yang meledak seperti meriam
ditembakkan dari lubang hidung Garuda.
Kita bikin museum digital:
lengkap, interaktif, dan penuh efek suara.
Tapi tidak ada satu pun yang benar-benar paham
apa bedanya seni dengan sensasi.
Mereka bilang budaya adalah jiwa bangsa.
Maka sekarang, jiwanya tersimpan di server Amazon.
Lokasi: Singapura.
Backup: di Irlandia.
Jangan khawatir,
data aman,
identitas nasional sudah dienkripsi
dan bisa diakses dengan OTP.
Aku membayangkan Kartini
menulis surat bukan ke Belanda,
tapi ke Facebook Support.
Mengeluh karena page-nya kena suspend
gara-gara dianggap menyebarkan “konten politik sensitif.”
Aku membayangkan Wali Songo
memakai headset VR,
berdakwah di Metaverse,
mengajarkan toleransi
kepada avatar toxic yang spam emot marah.
Aku membayangkan Indonesia Emas 2045—
dengan budaya ditampilkan di layar LED raksasa
di depan Starbucks.
Diapit iklan parfum dan klinik gigi aesthetic.
Sementara di rumah,
anak-anak belajar sejarah lewat komik
yang ditulis AI,
disensor sesuai standar pasar global.
Raden Ajeng Kartini menjadi Lady K,
pahlawan super feminis
yang bisa terbang dan lempar laser
dari sanggulnya.
Mari tepuk tangan,
untuk versi terbaru dari peradaban:
V.5.1
Bug warisan sudah diperbaiki.
Kita tidak lagi punya konflik makna,
karena semua dikurasi secara netral.
Netral artinya:
tidak menyakitkan,
tidak menyentuh,
tidak mengganggu pasar.
Budaya kini seperti pacar yang disayang,
tapi hanya kalau tampilannya cocok buat feed.
Kita bukan mencintainya,
kita sekadar menjadikannya props—
hiasan yang membanggakan
asal tak perlu dipahami.
Kita ingin dilihat cinta budaya,
tanpa harus repot belajar makna.
Ingin tampil lokal,
asal tetap pakai iPhone
dan bicara dalam bahasa influencer.
Ini bukan kiamat budaya.
Ini adalah evolusi.
Tapi bukan ke arah yang luhur—
melainkan ke arah yang lucu dan monetizable.
Ke arah yang lebih relatable,
lebih shareable,
lebih gampang dimasukkan ke template Reels berdurasi 30 detik.
🌀
Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah jeritan dan tawa yang menyatu.
Sebuah gelak pedih bagi zaman
di mana budaya dijaga oleh entitas tak bernyawa
bernama algoritma—
yang tahu semua,
kecuali makna.
Sindiran ini menghantam semua pihak:
penguasa, pembuat konten,
kita, aku, dan kamu
yang terlalu sibuk menjual warisan,
dan lupa bahwa budaya bukan sekadar paket data.
Budaya hanya hidup
jika dijalani—bukan dipromosikan.
Ia tumbuh dari darah dan kesadaran,
bukan dari statistik dan SEO.
Karena budaya,
sehebat apapun teknologinya,
tidak bisa diciptakan ulang
oleh mesin yang tak punya rasa kehilangan.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."