🎭 Puisi Satir Monolog
“Lebaran: Festival Kesedihan yang Dipoles Gliter Diskon”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
📜 Pengantar Pendek:
Yang suci ditunggu, yang palsu disambut.
Kadang, Tuhan pun bingung: ini Hari Raya atau Hari Raya-Raya?
🎤 Isi Puisi Satir Monolog:
Selamat datang di pesta tahunan umat bahagia-bahagiaan,
Tempat amplop jadi tiket surga, dan senyum dipoles dari toko sebelah.
Ini bukan Hari Raya, ini Hari Riasan,
Karena yang dirayakan hanyalah rasa yang pura-pura.
Katanya Idul Fitri, fitrah manusia kembali—
Tapi kenapa hati tetap cicilan?
Kenapa tangan lebih sibuk gesek kartu
Daripada menghapus air mata tetangga sebelah?
Lihatlah, meja makan penuh
Tapi kursi keluarga tak lengkap.
Karena yang satu pulang hanya via foto,
Sisanya tenggelam di status WhatsApp yang pilu.
Doa jadi caption, bukan lisan.
Maaf-maafan di timeline, bukan pelukan.
“Mohon maaf lahir batin,”
tapi masih dendam warisan sejak tahun lalu.
Anak-anak berlari di gang sempit,
Sambil memamerkan baju baru dari pabrik ketidakjujuran.
“Ini edisi Korea, Kak!” katanya bangga,
Padahal buatan tanah sendiri pun belum pernah dipakai dengan bangga.
Petasan meledak,
Mengalahkan doa ibu yang lirih.
Semua gaduh, kecuali hati.
Yang sunyi, yang sepi, yang seolah terlempar dari pesta umat ini.
Lalu, malam datang seperti tamu tak diundang,
Mengajak tidur dalam kasur kesepian.
Karena yang datang hanya ucapan template:
“Semoga kita kembali fitri.”
Tapi siapa yang tahu arti fitri selain brosur minimarket?
Tikus berdansa di balik laci dapur yang kosong,
Karena zakat pun kadang lupa alamat.
Yang memberi sibuk selfie,
Yang menerima? Sibuk menahan lapar pakai air doa.
Dulu, kita berkumpul di tikar,
Sekarang berkumpul di layar.
Dulu, peluk lebih penting dari parcel,
Sekarang parcel jadi alat ukur kasih.
Ada yang menangis di mushala,
Karena suaminya pulang hanya di nisan.
Tapi tetangganya tertawa,
Karena suara takbir dari speaker portable baru.
Ironi itu seperti opor basi dalam panci emas:
Mewah dari luar, amis di dalam.
Orang-orang ramai menyambut kemenangan,
Padahal pertandingannya pun belum dimulai.
Tak ada lagi tangisan rindu
Yang jujur datang dari dada,
Hanya acting murahan ala sinetron
Saat kamera keluarga dinyalakan.
Katanya Hari Raya itu soal memaafkan,
Tapi cicilan, fitnah, dan hutang tetap dibawa ke tahun depan.
Katanya ini hari kemenangan,
Tapi hati yang menang hanyalah dompet supermarket.
Tuhan duduk di pojokan, diam.
Ia bingung, ini lebaran atau parade kosmetik batin?
Hati dicat warna pastel,
Tapi luka tetap merah menyala di dada.
Anak-anak panti pakai baju hasil sumbangan
Yang dicuci dulu pakai air mata.
Sementara anak pejabat tampil di TikTok
Dengan hashtag #OOTDLebaran sambil joget ala surgawi.
Rasa sudah lama pergi dari Hari Raya ini.
Yang tersisa cuma rasa lapar akan pengakuan,
Rasa iri pada feed Instagram orang,
Dan rasa kehilangan… yang tak pernah diundang ke meja makan.
Ayah sudah tak bisa makan ketupat—
Bukan karena kolesterol,
Tapi karena ia sudah jadi kutipan doa
Yang dibacakan sambil mengunyah rendang mahal.
Ibu menangis di dapur,
Karena masak sepanci tapi yang makan tinggal dua.
Sementara saudaranya sibuk bikin video mukbang
Di channel bernama "Kebersamaan Tanpa Kedekatan".
Rumah dirapikan untuk tamu
Yang hanya datang satu tahun sekali.
Tapi hati tetap berantakan,
Karena yang harusnya tinggal, malah pergi sejak dulu.
Tiap sudut kota jadi arena kontes kebahagiaan,
Siapa paling banyak foto keluarga?
Siapa paling mahal baju lebarannya?
Siapa paling palsu ucapannya?
Sementara si penjaga parkir masjid
Hanya dapat senyum seadanya,
Dan si pemulung mengucap “Selamat Lebaran”
Sambil mengais sisa dari pesta yang tak pernah mengundangnya.
Katanya lebaran adalah momentum,
Tapi kenapa momentum itu harus dijadwal oleh kalender dan dompet?
Katanya ini hari sakral,
Tapi lebih ramai promo diskon daripada zikir.
Tahun demi tahun,
Kita rayakan hari besar ini dengan hati kecil.
Dengan iman yang disulap jadi paket hampers,
Dan nurani yang dibungkus kertas kado.
Beginilah lebaran zaman kini:
Di mana pelukan digantikan oleh emoji,
Dan permintaan maaf disampaikan lewat template digital
Yang diketik oleh jari, bukan keluar dari hati.
Di hari yang katanya kembali ke fitrah,
Kita malah kembali ke pola yang sama:
Berpura-pura bahagia,
Berpura-pura dekat,
Berpura-pura manusia.
🔍 Refleksi Penutup:
Puisi ini menampar siapa pun yang pernah merayakan Hari Raya dengan lebih banyak topeng daripada hati. Sindirannya diarahkan pada masyarakat modern yang lebih mementingkan penampilan, status, dan kesan digital daripada makna spiritual dan keintiman batin yang seharusnya menjadi esensi hari suci. Di balik lampu warna-warni, hidangan lezat, dan ucapan formal, tersimpan realita getir tentang keterasingan, kemunafikan sosial, dan perayaan tanpa rasa. Pesannya jelas: rayakan dengan hati, bukan hanya dengan rutinitas dan gaya. Sebab Tuhan tak membaca caption—Dia mendengar getaran nurani, bukan volume speaker.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."