Warisan Leluhur dalam Bentuk Stiker

jeffriegerry12@gmail.com
0


 Pengantar Pendek:

"Di zaman di mana kearifan diwariskan lewat status WhatsApp dan identitas dijual dalam bentuk stiker etnik, warisan leluhur jadi souvenir digital yang bisa ditempel dan dilupakan."
— Karya Pujangga Digital : Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Monolog Satir: Warisan Leluhur dalam Bentuk Stiker

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry


Lihatlah aku!
Penerus suku paling agung,
yang kini kupromosikan lewat stiker di kaca mobil.
Ada kepala suku dalam pose sangar,
ditambah kalimat sakti:
"Jangan main-main sama darah Toraja dalam diriku."
(Meski aku belum pernah injak tanah nenek buyutku.)

Aku bangga,
sebab kini adat bisa dibeli di toko online
dan kearifan bisa diunduh dalam resolusi HD.
Warisan bukan lagi tentang nilai,
tapi tentang estetika.

Stiker adat?
Itu bukan identitas, kawan.
Itu semacam kosmetik budaya—
menempel indah di bodi kendaraan,
sementara sejarahnya tercecer di jalan tol peradaban.

"Anak Dayak jangan diganggu!"
Begitu bunyi stiker berikutnya—
padahal anak Dayak yang menempelkannya
tak tahu lagi bagaimana menebas hutan tanpa Google Maps.

Ironi?
Tentu saja.
Tapi bukankah ironi telah jadi satu-satunya warisan
yang tak pernah punah di negeri ini?

Aku punya batik dalam bentuk emoji.
Aku pakai bahasa daerah hanya untuk caption
atau saat marah di kolom komentar.
Warisan kini bukan sesuatu yang dirawat,
tapi diringkas jadi slogan yang bisa dijual.

Dulu nenekku menenun dengan sabar,
sekarang cucunya bikin filter Instagram
dengan motif yang sama
—untuk konten “kebanggaan lokal” yang disponsori.

Kata orang,
budaya harus dibanggakan.
Tapi kami lebih suka memakainya sebagai alat gertak.
"Jangan macam-macam, aku Bugis asli!"
padahal tak tahu lagi perbedaan antara Lontara dan Lo-Fi.

Warisan leluhur, katanya,
adalah kekayaan yang tak ternilai.
Tapi kini ia diberi label harga,
diskon 20% saat Hari Kartini.

Oh nenekku,
kalau kau lihat generasi ini,
yang mengira tari piring cukup dengan TikTok 30 detik,
dan pantun bisa digantikan dengan AI,
mungkin kau akan menyesal
mengapa tak wariskan juga kuota internet bersamaan dengan nilai hidup.

Kami ini pewaris palsu
yang lebih paham cara membuat video reels
daripada membuat pantang larang.
Yang lebih hapal trending audio
daripada mantra pembuka ladang.

Warisanmu kini jadi konten,
yang kami kemas manis
agar viral dan dikomentari dengan emoji bendera.

Kami menyebut diri “anak adat”,
tapi hidup dalam algoritma.
Kami menyebut diri “cinta budaya”,
tapi hanya saat sedang tren dan tampil di Explore Page.

Dan kalau bicara adat,
semuanya mendadak pakar—
walau tak pernah ikut ritual panen,
tak pernah tahu makna tenun ikat,
dan mengira musyawarah kampung
adalah genre musik baru.

Warisanmu jadi stiker,
karena lebih mudah ditempel daripada dimaknai.
Ia jadi tanda bahwa kami punya “akar”,
meski kami tak tahu pohonnya tumbuh di mana.

Kami tempel wajah pahlawan adat di jaket motor,
tapi langgar ajarannya tiap hari.
Kami klaim keturunan pejuang,
padahal berperang saja cuma di kolom komentar.

Kami bangga pada tanah leluhur,
tapi menjualnya pada developer demi cicilan.
Kami mencintai bahasa daerah,
tapi menertawakan yang bicara logat kampung di TV.

Ah, betapa luwesnya kami
mengubah warisan jadi aksesoris.
Pakaian adat jadi kostum karnaval,
bukan lambang nilai luhur.
Upacara adat jadi konten viral,
bukan pengikat sosial.

Stiker budaya,
lambang identitas instan
yang bisa ditempel di mobil, helm, dan laptop—
selama tidak mengganggu branding pribadi.

Kami ingin terlihat lokal
tapi tetap modern.
Ingin dianggap adat
tapi tetap bebas bersikap—
seperti menempel logo suku
sambil buang sampah sembarangan.

Apa kamu tahu,
stiker itu tak akan menjelaskan
arti molulo, baralek, kebo sirah, mapalus,
atau bagaimana petuah leluhur mengajarkan
tentang kesetaraan, gotong royong, dan ketahanan jiwa?

Tapi tak apa.
Karena sekarang,
yang penting tampil dan viral.
Nilai bisa menyusul. Atau dilupakan.
(Toh siapa peduli kalau itu cuma konten?)

Lihatlah kami,
generasi pewaris budaya—
yang lebih mengenal filter daripada filosofi.
Yang bisa meniru aksen
tapi tak paham konteks.
Yang merasa adat itu keren
asalkan tidak terlalu ribet.

Kami ini paradoks berjalan:
bangga pada adat yang kami tak pahami,
setia pada leluhur yang kami reduksi jadi merek dagang.

Namun jangan salah sangka.
Kami tak sepenuhnya lupa.
Kadang, di tengah parade digital,
kami merindukan sesuatu yang asli.

Kami mulai bertanya,
"Kenapa sih dulu ada larangan memotong pohon sembarangan?"
"Kenapa leluhur selalu minta izin pada bumi sebelum panen?"
"Kenapa setiap rumah adat dibangun menghadap matahari?"

Dan dari situ—di antara stiker dan sarkasme,
kami mungkin mulai mencari.
Mungkin, hanya mungkin,
kami akan belajar kembali,
bahwa warisan bukan benda,
tapi cara hidup.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry:

Puisi ini adalah cermin digital—untuk menertawakan kepalsuan kita sendiri
sembari mengundang kesadaran,
bahwa leluhur tak hanya butuh dikenang di kaca mobil,
tapi dijalani di hati dan laku sehari-hari.
Stiker bisa pudar,
tapi nilai akan abadi jika kita merawatnya.

Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)