Aku Bercakap Lewat Emoji

jeffriegerry12@gmail.com
0

 


Pengantar Pendek:

"Aku menangis, tapi tak ada air mata—hanya ikon wajah sedih biru bulat di layar. Kupikir aku bicara, ternyata aku cuma swipe dan tap."
— Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Monolog Satir: Aku Bercakap Lewat Emoji

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry


🎭 Selamat datang di zaman ketika ekspresi disewakan ke gambar kecil.
Aku tak lagi butuh kata-kata.
Kenapa repot menyusun kalimat,
kalau wajah tersenyum dengan air mata 😂
sudah cukup menjelaskan segalanya?

Aku bahagia—🍰
sedih—😭
marah—😡
terganggu tapi tetap sok lucu—😅
dan semuanya dikemas dalam bundar mungil beresolusi tinggi.

Kubilang: "Aku kangen kamu."
Tapi cukup kirim emoji peluk 🫂
(Tak perlu sungguh-sungguh kangen.
Yang penting cepat dan terlihat manis.)


📱 Di zaman digital, aku lulus jadi ahli percakapan singkat.
Tak perlu bertatap muka,
karena wajah bisa diganti stiker.
Suaraku?
Sudah digantikan oleh nada dering.

Cintaku?
Cukup simbol ❤️,
dikirim ke tiga orang sekaligus.
Efisien.
Romantis dalam format bulk.


Aku pernah naksir seseorang
hanya karena ia cepat membalas dengan emoji api 🔥
dan membubuhkan hati berwarna ungu 💜
(aku tak tahu artinya, tapi katanya manis).

Kami tak pernah bicara serius.
Karena kalau emosi membuncah,
cukup kirim gif kucing menangis.


Kadang aku bertanya,
apakah nenek moyangku menulis syair cinta panjang
hanya untuk diwariskan padaku—
yang sekarang membalas puisi dengan sticker kelinci berjoget?

Apakah Chairil, Sapardi, dan Rendra
akan marah jika tahu bahwa "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana"
telah disingkat jadi:
🫶😚✨💬


"Jangan terlalu rumit,"
kata algoritma yang menyetir kebiasaan baruku.
“Bicara cukup 160 karakter. Lebih dari itu?
Ah, orang bisa skip.”

Aku pun taat,
menyederhanakan semua rasa jadi satu sentuhan.
Kemarahan jadi emoji kepala merah.
Kesedihan jadi wajah menunduk.
Dan cinta…
adalah tombol share.


Dulu, saat aku sedih, aku menulis.
Sekarang?
Cukup satu story dengan latar hitam
dan satu emoji patah hati 💔
—cukup membuat dua puluh orang bertanya basa-basi,
lalu kembali menonton drama Korea.


Aku jadi jago bersandiwara:
menangis di balik emoji tertawa,
kesepian dalam rangkaian huruf “wkwkwk”,
dan sepi yang dibungkus efek visual penuh kembang api.


Kadang aku iri pada mereka yang masih tahu cara bicara,
bukan dengan jempol,
tapi dengan mata.
Bukan dengan stiker,
tapi dengan nada.

Aku pernah coba bicara sungguhan—
tanpa emoji, tanpa efek.
Hasilnya?
Mereka bilang aku “terlalu intens.”
"Kenapa gak pakai emot aja, bro?
Biar gak salah paham."

Ah ya.
Lupa aku.
Kini kejujuran harus dibumbui
dengan tanda senyum,
agar tak dianggap menyerang.


Saat seseorang meninggal,
kami tak lagi hadir dengan air mata.
Cukup ketik:
“Turut berduka 😢🙏.”
lalu lanjut scroll.
Yang penting komentar sudah ditinggal.


Kami, generasi emoji,
yang lebih hafal arti 😈 daripada arti nurani.
Yang lebih sering klik “❤️”
daripada benar-benar menyayangi.

Kami belajar emosi
dari ikon-ikon kuning.
Wajah manusia dipersempit jadi 3 pilihan:
senyum, sedih, dan marah.
Sisanya?
Tak perlu dianalisis.
Scroll saja.


📶 Perbincangan kami punya sinyal kuat,
tapi isi hati kami hampa.
Koneksi cepat,
tapi komunikasi dangkal.
Kami tertawa bersama,
tapi sendiri saat malam tiba—
berpelukan dengan layar,
menyusu pada notifikasi.


Aku pernah menyaksikan dua orang putus
hanya lewat serangkaian emoji:
💔🚫🙅‍♂️😢
Lalu diposting ke feed dengan lagu galau,
seakan itu adalah ritual sakral dari perpisahan modern.


Aku mulai bertanya:
Apakah hatiku ini nyata?
Atau cuma pantulan dari katalog ekspresi digital?
Bisakah aku menangis tanpa wajah biru?
Tertawa tanpa huruf "w"?
Marah tanpa kirim gambar Thanos?


Mungkin…
suatu hari nanti aku ingin bicara seperti manusia.
Bukan sekadar makhluk 2D yang mencintai lewat GIF dan menyapa lewat reaksi.
Aku ingin kembali merangkai kalimat,
menyusun jeda,
mengirimkan perasaan lewat kata yang jujur,
bukan sinyal.


Tapi sebelum itu,
izinkan aku kirim satu emoji terakhir: 🙃
Tanda bahwa aku setengah sadar,
tapi tetap ikut menari dalam absurd ini.


Kami bukan tak tahu cara bicara,
kami hanya lupa.
Lupa bahwa manusia diciptakan dengan lidah dan hati—
bukan hanya ibu jari dan emotikon.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):

Puisi ini adalah cermin bagi kita yang sibuk bicara tanpa mengatakan apa-apa.
Yang terus terkoneksi tapi kehilangan kedalaman.
Emoji bukan musuh,
tapi ia jadi tirani saat kita menjadikannya pengganti rasa.
Mari belajar kembali berbicara—bukan hanya dengan simbol,
tapi dengan makna.
Karena dunia sudah cukup penuh ekspresi digital,
tapi miskin empati sejati.

Tags

Posting Komentar

0Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar (0)