Merahnya Darah, Putihnya Dosa: Bendera Itu Tak Pernah Dicuci

jeffriegerry12@gmail.com
3

 


📜 Pengantar Pendek:

“Mereka kibarkan simbol kebanggaan—tapi tak pernah mencucinya. Karena noda itu sejarah. Atau cuma ketakutan akan kebenaran?”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


 

PUISI SATIR MONOLOG: Warna Bendera yang Tak Pernah Dicuci

(Monolog dari sehelai bendera, di tiang tertinggi negara...)


I. Prolog dari Sehelai Kain

Aku sehelai kain—katanya sakral,
Dikibarkan dengan khidmat setiap Senin pagi,
Dipuja di bawah panas upacara,
Disumpahi dalam debu demokrasi.

Mereka sebut aku Merah Putih,
Tapi entah sejak kapan putihku pudar jadi abu,
Dan merahku... bukan lagi semangat,
Tapi sisa darah dari janji-janji yang ditikam.


II. Aku Pernah Dicuci, Sekali. Tahun '45.

Katanya waktu itu penuh darah dan air mata,
Tapi juga kejujuran yang tak sempat disetrika.
Kini aku hanya dijemur tiap Agustus,
Dengan parfum nasionalisme palsu dan pewarna buatan.

Aku digantung, dipuja, dipeluk...
Tapi tak pernah dicuci dari dosa masa lalu.
Karena, hei—
Noda sejarah itu katanya "identitas".


III. Merahku Adalah...

Darah para petani yang tanahnya jadi hotel,
Darah aktivis yang dihilangkan dengan surat resmi,
Darah buruh yang digaji dengan “terima kasih”,
Darah rakyat yang hanya muncul di spanduk kampanye.

Mereka bilang:
“MERAH ADALAH SEMANGAT!”
Lucu.
Kalau begitu, pembantaian juga semangat?


IV. Putihku Adalah...

Kertas kosong janji kampanye,
Laporan bersih hasil korupsi berjamaah,
Jubah suci para pemuka yang lupa makna “iman”,
Atau… gigi palsu senyum pejabat tiap disorot kamera.

Putih?
Kau serius?
Aku lebih mirip kain pel... yang disembah.


V. Setrika Nasionalisme

Aku disetrika tiap tahun di podium pidato:
Kata “merdeka” disambut tepuk tangan,
Lalu hilang ketika listrik padam dan harga cabai naik.
Aku dilipat, tapi tak pernah dibuka ke dalam.

Katanya aku sakral.
Tapi waktu aku diseret di jalan oleh demonstran lapar,
Mereka bilang: "Itu pelecehan simbol negara!"
Lapar bukan simbol, rupanya.


VI. Parade Kebanggaan Palsu

Aku ikut parade,
Bersama tank tua dan senyum anak sekolah.
Orang-orang selfie denganku,
Tapi lupa siapa yang mati demi aku.

Ada yang bilang aku berjiwa.
Tentu. Jiwa trauma, jiwa korup, jiwa basa-basi.
Aku pernah haru. Kini aku haramkan air mata,
Karena tisu kemanusiaan sudah kehabisan stok.


VII. Wangi Politik dan Deodoran Dosa

Mereka semprot aku dengan “cinta tanah air”,
Tapi cintanya conditional,
Sebatas spanduk dan buzzer berbayar.

Aku pernah harum oleh pengorbanan,
Kini bauku... aroma endorse dan e-Procurement.
Maaf, bukan maksud menyindir,
Tapi kalau sindiran tidak menyentil, itu bukan seni!


VIII. Anak-Anakku… Terlupa

Anak-anak yang belajar menyanyi “Hari Merdeka”
Tapi tak tahu harga beras.
Anak-anak yang hormat padaku,
Tapi tak dihormati negara saat kelaparan.

Aku tersedu,
Tapi tiang tempatku berdiri terlalu tinggi untuk dengar tangisan.
Dan penjaga sekolah terlalu sibuk update TikTok
Untuk peduli aku robek atau robek hati.


IX. Aku Pernah Bicara—Tapi Dibungkam

Ketika aku berkibar di tenda pengungsian,
Mereka tidak menyebutku simbol—
Hanya sobekan kain.

Ketika aku dililitkan ke tubuh jenazah,
Mereka menyebutku kehormatan.
Padahal yang mati tak kenal siapa yang menandatangani perangnya.


X. Aku Ingin Dicuci

Bukan dengan sabun netralitas,
Bukan dengan deterjen politik dinasti,
Bukan pula dengan air mata buaya birokrasi.

Cuci aku dengan kesadaran.
Dengan kesediaan untuk jujur.
Dengan tangan rakyat, bukan tangan kekuasaan.


XI. Epilog: Aku Tak Lagi Berkibar

Hari ini aku dilipat. Bukan karena selesai bertugas,
Tapi karena terlalu banyak luka yang harus disembunyikan.

Aku bukan bendera.
Aku saksi bisu dari bangsa yang nyaris tuli.




📜 Pengantar Pendek:

“Aku dijunjung tinggi, tapi tak pernah dibersihkan. Sebab kotoranku adalah wajah kalian.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


 Dicintai Saat Upacara, Dibuang Saat Butuh


I. SEHELAI KAIN YANG BISA BICARA

Aku bendera, kawan.
Simbol negara, katanya.
Tapi izinkan aku bicara kali ini—
Karena kalian terlalu lama bicara atas namaku.

Aku dikibarkan di tiang tertinggi,
Namun diinjak saat krisis membusuk.
Aku dijaga ketat di museum,
Tapi tak dijaga nilainya di jalanan.

Aku bukan suci. Tapi kalianlah yang menodai.


II. DARAH DI MERAHKU BUKAN LEGENDA

Mereka bilang merahku itu berani.
Hah. Berani?
Yang kulihat cuma berani mencuri di balik bendera.
Berani ngibul pakai bahasa negara.

Merahku bukan dari darah pahlawan semata.
Ada darah rakyat Papua yang dicap separatis karena lapar,
Darah demonstran yang ditembak gas air mata,
Darah ibu-ibu yang kehilangan sawah demi tol baru.

Aku merah karena kalian tak tahu malu.


III. PUTIH ITU SUCI? KATANYA.

Putihku dulu bersih.
Sekarang?
Putihku seperti amplop kosong saat pemilu.
Putihku seperti SPP sekolah yang naik tiap semester.

Putihku adalah surat keputusan,
Yang diteken tanpa baca.
Putihku adalah seragam ASN
Yang diam saat rakyat menjerit.

Jangan sebut aku lambang kesucian.
Aku lambang kemunafikan yang diframing sakral.


IV. 17 AGUSTUS: DRAMA NASIONALISME TAHUNAN

Oh... hari kemerdekaan.
Saat aku diangkat dengan tangan gemetar penuh haru—
Tapi hanya untuk difoto,
Lalu dilupakan sampai tahun depan.

Aku jadi spanduk, baliho, baju batik edisi terbatas,
Sambil speaker TOA teriak: “Dirgahayu!”
Tapi suara perut rakyat tetap tak terdengar.

Merdeka itu katanya bebas...
Tapi bebas yang mana, ya?
Bebas nyicil sampai mati?
Bebas disalahkan saat kebijakan gagal?


V. AKU ADA DI SEMUA TEMPAT—KARENA DIPERALAT

Aku muncul di panggung kampanye,
Dipeluk sambil tersenyum palsu.
Tapi setelah menang?
Aku dikunci di lemari, diganti dasi impor.

Aku ikut di rapat-rapat formalitas.
Tapi tak ada yang membahas aku sebenarnya.
Karena aku cuma ornamen.
Aksesoris dari hipokrit nasional.

Aku saksi bisu dari kejahatan legal
Yang dibungkus tanda tangan dan meterai.


VI. NASIONALISME VERSI BUNGKUS MIE

Kalian cinta aku—katanya.
Tapi lebih cinta diskon Tokopedia.
Lebih rela antri iPhone baru
Daripada antri donor darah saat bencana.

Kalian bilang bangga jadi bangsa besar.
Tapi kalau bisa, semua lari ke luar negeri.
Kalian hafal lagu wajib,
Tapi lupa siapa yang wajib kalian perjuangkan.

Lagu “Tanah Airku” diputar di mall,
Tapi tanah airnya sudah disertifikasi bank asing.


VII. DIAM ITU EMAS — KALAU EMASNYA UNTUK ELIT

Aku ingin bicara,
Tentang kemiskinan struktural dan nepotisme adil merata.
Tapi mikrofonku diputus.
Katanya ini bukan waktu yang tepat.

Padahal waktu yang tepat tak pernah datang,
Karena waktumu selalu untuk selfie dan siaran langsung.
Aku dibungkam demi stabilitas,
Yang artinya stabil hanya untuk yang di atas.


VIII. AKU TAK MAU DIPELUK LAGI

Hentikan pelukan palsumu setiap 17-an.
Hentikan tangisan pura-pura di depan bendera robekku.
Kalau kalian cinta aku,
Cucilah aku. Bukan dengan deterjen nasionalisme,
Tapi dengan sabun kebenaran.

Gosok aku dari semua noda kebohongan.
Bilas aku dari darah yang tak pernah ditulis di buku sejarah.
Keringkan aku di bawah matahari kejujuran,
Lipat aku dengan tangan yang bekerja, bukan mencuri.


IX. APAKAH KAU BANGGA?

Banggakah kau ketika anakmu tak bisa sekolah
Karena uang bangunan lebih mahal dari harga diri?
Banggakah kau ketika benderaku dikibarkan
Di depan rumah mewah hasil nyolong bansos?

Kau kibarkan aku, tapi kau tidak tahu artinya.
Kau hormat padaku, tapi kau menjual bangsa pada diskon investasi.


X. TOLONG, BASUH AKU.

Basuh aku, wahai rakyat yang masih sadar.
Bukan dengan air mata.
Tapi dengan tindakan nyata.
Dengan marah yang terdidik.
Dengan logika yang bernyali.

Aku tak ingin dipuja lagi.
Aku ingin dihidupi.
Dengan keadilan.
Dengan keberanian menolak sistem bobrok.


XI. MONOLOG TERAKHIRKU

Aku bukan cuma bendera.
Aku cermin.
Dan cerminku retak, karena wajah kalian sendiri retak.

Aku bukan lambang negara.
Aku adalah pengingat bahwa bangsa ini masih bisa dibersihkan
Jika kalian berani jujur,
Berani malu,
Dan berani mencuci kain bernama harapan itu…


🔻 Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah jeritan satire dari simbol kebangsaan yang dikultuskan namun dilupakan esensinya. Sindiran diarahkan pada birokrat, penguasa, dan warga negara yang terlalu sibuk membungkus kebohongan dengan patriotisme kosong. Pesan moralnya sederhana namun pahit: jangan hanya menghormati simbol, tapi juga makna di baliknya. Sebab bendera yang tak pernah dicuci bukan lagi lambang—tapi luka.

Versi kedua ini berbicara lebih lantang—lebih liar, lebih telanjang. Ia menyindir sistem politik, budaya pura-pura, dan nasionalisme kemasan. Puisi ini menyasar para penguasa yang menjadikan simbol negara sebagai kosmetik kekuasaan, dan masyarakat yang membiarkannya karena terlalu lelah atau terlalu nyaman.

Nilai moralnya sederhana tapi keras:

Jangan bangga pada bendera yang tak pernah kau cuci—karena itu berarti kau membiarkan dosamu tetap melekat padanya.


Tags

Posting Komentar

3Komentar

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Posting Komentar